Pada kesempatan kali ini saya akan menge-post tentang cerita - cerita rakyat, walaupun enggak semua sih tapi cuma sebagian kecil. Ok langsung aja.
ASAL MULA BURUNG NTAAPO-APO
Dahulu, disebuah
kampung di daerah muna, Sulawesi tenggara, hiduplah seorang janda bersama
seorang anak laki-lakinya bernama la ane. Suaminya meninggal dunia saat la ane
masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang
luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia Tanami ubi dan jagung untuk di makan
sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan.
Janda itu sangat saying
kepada la ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi
besar.namun, la ane yang telah menginjak usia remaja ia tidak pernah membantu
ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya Cuma gasingbersama
teman-temanya. Ia hanya pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi,
setelah kenyang ia kembali bermain gasing.
Sang ibu mulai tidak senang dengan kelakuan anaknya yang
semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya untuk pergi ke
kebun, namun la ane selalu menolak.
“ buat apa bekerja setiap har. Capek, bu, “ begitu selalu
kata la ane.
“ anakku, kita mau makan apa jika tak bekerja? “ ujar
ibunya
“
ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-teman
daripada ikut bekerja di kebun “ kata la ane dengan cuek.
“
kalau begitu, makan saja itu gasingmu! “ tukas ibunya dengan nada kesal.
La ane tetap saja tidak peduli dengan nasehat ibunya.ia
pergi meninggalkan rumah menuju rumah teman-temanya. Sang ibu yang masih kesal
sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukanya nasi dan jagung rebus
yang disiapkan, melainkan gasing yang sudah dipotong keci-kecil lalu di
tempatkan didalam kasopa ( tempat
jagung da ubi ). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu di tempatkan didalam
kaghua ( tempat sayur atau ikan ).
“ huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas!
“geram sang ibu.
Janda itu kemudian
pergi ke kebun. Menjelang siang hari, la ane pun kembali dari bermain karena
lapar. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat kasopa dan kaghua berisi
potongan-potongan gasing dan talinya.
“
oh, ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali. “ keluh
la ane.
Dengan perasaan sedih,
la ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng ia duduk termenung sambil
memikirkan nasibnya.
“
Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik aku menjadi burung saja
sehingga aku dapat terbang kesana kemari mencari makan sendiri. “ ucap la ane.
Ucapan la ne rupanya
menjadi kenyataan. Ketika ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya
perlahan-lahan ditumbuhi oleh bulu yang berwarna-warni yang indah dan
berkilauan. Selang beberapa saat, anak mala situ pun berubah menjadi burung. Ia
kemudian hinggap diatas atap rumahnya sambil berkicau merdu.
Saat hari menjelang
sore, sang ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.
“ la ane… la ane…, kamu dimana anakku?! “ teriaknya.
Sudah berkali-kali ibu
itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panic, ia segera keluar dari
rumah. Ketika berada didepan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di
atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu pun hamper pingsan ketika melihat
pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya.
“ oh, anakku, maafkan ibu. Turunlah, nak! “bujuk sang
ibu.
Nasi sudah menjadi
bubur. La ane yang telah menjelma menjadi seekor burung tidak akan lagi berubah
menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. ketika ibunya
berteriak, ia udah tidak mendengarnya lagi. Ia hinggap di atas pohon pinang
sambil berkicau.
“ ntaapo-apo… ntaapo-apo!” demikian kicauan burung itu.
Sang ibu tak
henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia
terbang ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bias
melakukan apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuanya terhadap anak semata
wayangnya itu.
Sejak peristiwa itu,
burung yang suka berkicau “ ntaapo-apo “ dinamakan burung ntaapo-apo. Hingga
saat ini, burung yang mirip dengan burung cendrawasihi itu masih sering
terdengar kicauanya dari dalam hutan di daerah muna, Sulawesi tenggara.
Di
kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten
Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan
nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau
seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi
semak dan perdu.
Dahulu
kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu
ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua
Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi
karena terletak di tepi laut.
Terkenallah
pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri
bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila
sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih
yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.
Kejelitaan
dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina
yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di
laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk
melamar Putri jelita.
Sebelum
Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu
dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui
bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga
pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik
melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan
cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut
seperti anjing.
Betapa
jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah
Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat
menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta
merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata,
“Betapa hinanya
seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti
anjing.”
Penghinaan
yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada
Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang
diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus
dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun
segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat
guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.
Perang
dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang
pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih. Ternyata tentara Aji
Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk
dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang
itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu
akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.
Putri
pun segera makan sirih seraya berucap, “Kalau benar aku ini titisan raja sakti,
maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina
beserta seluruh bala tentaranya.” Selesai berkata demikian, disemburkannyalah
sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan
sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang
besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang
mengamuk.
Bala
tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu
dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu,
segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka
bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat
itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk
meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk
membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka
menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak
dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung
mereka ditenggelamkan juga.
Sementara
itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan
dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan
tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya
yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang
kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.
Asal
Cerita : Kalimantan Timur
BATINGNA LEBONNA
Dahulu kala, hiduplah seorang seorang wanita cantik, berkulit putih,
berhidung mancung, tinggi semampai dan berambut panjang dari Daerah Bau,
Bonggakaradeng yang bernama Lebonna. Dalam perjalanan hidupnya, ia menjadi
rebutan para lelaki, namun akhirnya ia jatuh hati pada seorang lelaki tampan,
pemberani dan sakti bernama Massudilalong Paerengan. Dalam jalinan hubungan
asmaranya, kedua sejoli ini mengikat janji untuk sehidup semati, dan saat
meninggal nanti, keduanya harus dimakamkan dalam satu peti mati.
Seiring berjalannya waktu, hubungan asmara keduanya semakin mesra, dan
akhirnya banyak pria yang cemburu terhadap Paerengan yang berhasil merebut hati
Lebonna, begitu juga banyak wanita yang cemburu terhadap Lebonna yang berhasil
merebut hati Paerengan, pemuda tampan dan pemberani. Namun, takdir berkata lain
saat muncul kabar bahwa daerah tetangga akan melakukan penyerbuan, dan
Paerengan yang memang dikenal sebagai ksatria, diminta untuk memimpin pasukan.
Merekapun berangkat ke medan pertempuran untuk berperang (Mangrari).
Sementara itu Lebonna tinggal di Kampung sembari menenun menunggu
kekasihnya kembali. Namun, saat terjadi pertempuran, salah seorang anak buah
Paerengan diam-diam lari dari medan pertempuran, dengan maksud merebut Lebonna
dengan menyampaikan kabar bohong mengenai kematian Paerengan, kepada Lebonna
dengan berpura-pura sedih. Mendengar kabar tentang kematian sang kekasih,
Lebonna sangat terkejut dan tidak sanggup menerima kabar tersebut. Bahkan ia
sampai mengurung diri dan tak mau makan selama beberapa hari. Usaha anak buah
Paerengan yang kabur dari medan perang itu ternyata tidak membuahkan hasil.
Lebonna tak bergeming sedikitpun untuk dibujuk ataupun dirayu karena cintanya
memang hanya untuk Paerengan. Tiap malam Lebonna selalu teringat akan janji
yang telah ia sepakati bersama kekasihnya, Paerengan. Dan akhirnya, ia menepati
janjinya untuk sehidup semati dengan kekasihnya dengan cara gantung diri.
Setelah tewas dan memilih gantung diri, demi membuktikan cinta sucinya,
jenasah Lebonna kemudian dimakamkan yang terlebih dahulu harus melalui prosesi
“dialuk”, kemudian dimakamkan di sebuah Liang batu, tepatnya di desa
Salu Barani, Lembang Bua Kayu. Menurut cerita, pada saat mayat Lebonna di
masukkan kedalam Liang, Pintu baru tiba-tiba tertutup rapat, dan rambut panjang
Lebonna masih terurai keluar sampai bibir Gua. Menurut kepercayaan masyarakat
Toraja, saat itu Lebonna masih belum rela masuk ke dalam Liang tanpa ditemani
Massudilalong Paerengan, sang kekasih yang sudah mengikat janji dengannya untuk
sehidup semati.
Paerengan pun kembali dari medan peperangan dengan kabar kemenangan, dan
langsung menuju ke rumah Lebonna, kekasihnya yang sangat ia rindukan. Namun
alangkah terpukulnya Paerengan, Lebonna gadis yang sangat ia cintai telah pergi
untuk selama-lamanya.Setelah mengetahui kekasihnya telah tiada, kehidupan
Paerengan sangat tidak menentu. Dia yang dikenal sebagai kesatria sejati dan
sangat disegani, kini hidup dalam kondisi tertutup. Setiap hari ia selau
bersedih, dan menyendiri. Dilematis, Paerengan harus memilih memenuhi janjinya
sehidup-semati dengan Lebonna atau hidup untuk membela wilayahnya wilayahnya
dari serangan musuh.
Hari-hari pun berlalu, tersebutlah seorang bernama
Dodeng, pembantu Paerengan yang sangat dekat dengan Paerengan. Dodeng memiliki
sebuah pohon enau yang berdekatan dengan Liang kubur Lebonna. Pada suatu
ketika, Dodeng terlambat mengambil nira/tuak, sehingga ia harus
berangkat setelah petang hari. Saat mengambil Tuak, Dodeng mendengar suara yang
tidak asing lagi, suara yang ia ketahui dan kenal sebagai suara Lebonna.
Sebagian masyarakat Toraja percaya bahwa arwah seseorang yang meninggal dengan
cara bunuh diri akan tidak tenang, seperti halnya arwah Lebonna. Apa pesan yang
ingin disampaikan Lebonna kepada Dodeng untuk disampaikan kepada kekasihnya
Paerengan-Massudilalong ? Dodeng mendengarkan suara jeritan Lebonna mengenai
kekasihnya yang belum memenuhi janjinya untuk sehidup-semati. Pesan Lebonna
kepada Massudilalong melalui Dodeng tersirat melalui lirik sebuah lagu :
Dodeng mangrambi mandedek, Dodeng
ma’pa tuang-tuang, rampananpi pededekmu, annapi te kamali’ku …. ammu perangina’
mati’, ammu tanding talingana’…. Parampoanpa kadanku, pepasan mase-maseku, lako
to Massudilalong, muane sangkalamma’ku…
Mukua duka la sang mateki e so’
eee…. Paerengan o… Rendengku.
Angku dolo, angku mate(…) tae’ si la
matena, lasisarak sunga’na, (…) Ulli-ulli soladuka Borro sito’doan duka(…) o
Rendengku….
Artinya kurang lebih; Hei.. Dodeng yang mengambil tuak,
hentikanlah dahulu aktivitasmu…. Dengarlah pesan deritaku… untuk kekasihku
Massudilalong…. Katanya akan sependeritaan… Juga sehidup-semati…. Tapi semuanya
cuma hampa… saya telah lama mati, bunuh diri karena janji… sementara dia masih
hidup.
Dodeng yang mendengar suara rintihan penuh permohonan
itu, tak sanggup berbuat apa-apa. Ia terpaku. Saat tersadar, ia langsung lari
ke rumah Paerengan dan tak sempat mengambil tuak lagi. Sesampai di rumah, ia
langsung keringat dingin dan jatuh sakit. Namun pesan Lebonna untuk kekasihnya
tidak langsung disampaikan Dodeng, karena masih kurang percaya dengan apa yang
ia dengar. Ia khawatir itu hanya khayalan belaka, kendati itu sempat membuatnya
jatuh sakit. Akhirnya Dodeng kembali mencoba untuk mengambil ballo atau tuak, namun
kali ini ia lebih awal datang. Alangkah terkejutnya Dodeng, suara itu kembali
ia didengarkannya padahal belum terlalu gelap (malam). Mendengar suara sedih
yang berintihkan pesan itu, Dodeng lalu mengambil langkah seribu tanpa membawa
tuak .
Akhirnya perubahan sikap Dodeng membuat Paerengan
curiga. Ia kemudian mendesak Dodeng untuk menceritakan apa yang terjadi
padanya, Dodeng pun tak tahan dan menyampaikan hal tesebut kepada Paerengan. Tak
yakin dengan cerita Dodeng, Paerengan pun ingin membuktikannya, sehingga
keesokan harinya saat petang Paerengan ikut bersama Dodeng ke pohon enau, yg
tak jauh dari pemakaman Lebonna. Setelah Dodeng naik keatas pohon enau, suara
itu kembali terdengar. Paerengan yang hadir secara diam-diam menyimaknya dengan
jelas. Setelah mendengar langsung pesan Lebonna itu, Paerengan pun langsung ke
rumahnya, masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Ia sangat terpukul
karena lalai dari janji setia yang telah disepakatinya bersama Lebonna, kekasih
yang sangat dicintainya.
Tak menunggu lama Paerengan sang panglima perang
meminta agar semua pasukannya berkumpul dengan membawa tombak. Ia beralasan
akan melaksanakan upacara merok yaitu ritual dengan menyembelih kerbau
dengan cara ditombak.
Esoknya, semua tentara berkumpul di lapangan terbuka.
Semua keluarga Paerengan juga hadir. Saat itu, puluhan kerbau telah disiapkan,
para tentara juga telah membawa tombak masing-masing. Paerengan kemudian
meminta agar semua tentaranya menancapkan tombak dengan posisi mata tombak
keatas. Saat semua warga dan tentara berkumpul, diam-diam Paerengan naik keatas
atap pendopo yang memang sudah ada sebelumnya. Disangkanya akan menyampaikan
pidato, namun ternyata ia justru melompat tepat diatas ratusan ujung tombak
yang telah ditancapkan.
Paerengan pun tewas secara tragis, dan telah memenuhi
janjinya. Pada saat Paerengan dimakamkan, bukan di tempat Lebonna dimakamkan, jenasah
Paerengan selalu muncul lagi dirumahnya secara tiba-tiba. Kejadian ini terjadi
tiga kali, sampai akhirnya Dodeng mengisahkan kejadian yang sebenarnya termasuk
suara yang didengarnya saat hendak mengambil tuak. Setelah dimakamkan satu
liang dengan Lebonna, barulah mayat Paerengan menjadi tenang.
Asal Cerita : Daerah Toraja
BATU MENANGIS
Disebuah
bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin
dan seorang anak gadisnya.
Anak
gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang
amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain
pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus
dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa
memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang
mencari sesuap nasi.
Pada
suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak
pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan.
Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan
bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya.
Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian
sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui
bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa,
orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan
anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah
gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu,
sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu,
seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, "Hai, gadis
cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan
angkuh. "Ia adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian
meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan
bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang
berjalan dibelakangmu itu ibumu?"
"Bukan, bukan," jawab
gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"
Begitulah
setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan
perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu
atau budaknya.
Pada
mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu
masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya
sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat
menahan diri. Si ibu berdoa.
"Ya Tuhan, hamba tak kuat
menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba
sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa,
perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu
dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak
gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya,
ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.."
Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi,
semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi
batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya
masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang
berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu
Menangis ".
Asal Cerita : Kalimantan
Bawang Merah dan Bawang Putih
Zaman dahulu kala di sebuah desa
tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja
yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski
ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai.
Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang
janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih
meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering
membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani
Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa
mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang
putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang
putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu
bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama
kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih
dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang.
Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah
dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak
mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh
sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya
semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir
tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk
mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia
harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu
dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan
lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira,
karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak
kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih
membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi
kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya.
Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor
yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa
salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah
baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah
hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya,
namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan
menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya.
“Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani
pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti
keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi.
Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju
ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar
yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh
melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang
penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya:
“Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini?
Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak.
Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman
itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata
Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap,
Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang
putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi
sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya
sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya
tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di
depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku
akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu.
Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang
putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa
iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak
bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal
dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan
rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah
seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang barrier kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang barrier kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih
menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk
membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu
terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia
berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan
bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut.
Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan
hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih,
bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini
bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai
di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang
merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih
yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun
ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan
dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang
merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah
karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa
menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan
cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih
dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah
segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya.
Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih
untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut.
Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan
binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain.
Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas.
Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Asal cerita : Riau
Bedug Si Bungsu
Pada jaman
dahulu kala, di daerah Bugis, hiduplah enam orang bersaudara yang semuanya
laki-laki. Mereka baru saja berduka karena ayah mereka meninggal dunia, dan
hanya meninggalkan warisan berupa lima petak sawah. Mengetahui sawah warisan
hanya lima petak, sedangkan mereka ada enam bersaudara, maka terjadilah
pertengkaran hebat di antara mereka, sebab masing-masing ingin memiliki sawah
tersebut.
Akhirnya anak yang paling tua di
antara mereka mengusulkan agar mereka melakukan pertandingan bercerita, dan
siapa saja yang paling besar dan ceritanya bisa membuat pendengarnya
tercengang, maka dialah yang akan memiliki semua sawah sebanyak lima petak itu.
Ke lima adik-adiknya pun setuju dengan usul tersebut. Maka mereka pun duduk
membentuk lingkaran dan mulai melakukan pertandingan bercerita, dengan
mempersilahkan saudara tertua mereka untuk memulainya.
Anak yang tertua pun mulai
bercerita, “Suatu ketika, saya pergi ke dalam hutan dan mendapati pohon dengan
batang yang sangat besar. Saking besarnya pohon tersebut, saya memerlukan waktu
sehari semalam hanya untuk mengelilinginya.” Mendengar cerita itu, semua
saudaranya mengganguk nganggukkan kepalanya.
Anak nomor dua pun berkata, “Itu
belum seberapa, sebab saya menemukan pahat yang lebih besar dari pohon mu
ketika sedang melakukan perjalanan. Pahat itu tertancap di tanah, saking besar
dan tingginya pahat tersebut hingga ujung gagangnya mencapai langit ke tujuh.”
“Masih ada lagi yang lebih hebat
dari cerita kalian berdua.” kata anak nomor tiga. “Suatu waktu saya menemukan
seekor kerbau yang sangatlah besar, saking besarnya, sehingga ujung tanduknya
saja bisa dijadikan lapangan untuk bermain sepak bola.”
“Tapi saya menemukan rotan yang
lebih besar daripada pohon, pahat dan kerbau kalian.” Kata anak nomor empat.
“Rotan itu sangatlah panjang luarbiasa, sehingga dapat melingkari bumi ini.”
Menyahutlah anak yang nomor lima, “Itu semua belum seberapa, sebab saya pernah
menemukan sebuah masjid, bahkan saya pun sempat sholat Jum’at di dalamnya.
Masjid itu sangatlah besar, sehingga dari tempat saya sholat tidak dapat
melihat imam yang ada di muka. Dan, andaikata bisa terlihat, besarnya pun
hanyalah seukuran kuman saja.”
“Sekarang giliran adik kita yang
paling bungsu, untuk bercerita lebih besar dari apa yang kami bisa ceritakan.”
kata anak tertua. Anak bungsu pun mulai bercerita dengan suara perlahan, “Pada
suatu hari, saya menemukan sebuah Bedug yang hanya sekali dipukul suara
dengung-nya akan terdengar terus-menerus. Bahkan, suara nya itu masih dapat
didengar sampai sekarang. Cobalah tutup kedua telinga kalian, pasti masih
terdengar suara bedug tersebut.”
Serentak ke lima saudaranya menutup
telinganya masing-masing, dan terdengarlah suara dengung di telinga mereka,
padahal sebenarnya suara itu hanyalah suara angin saja. Takjub denga apa yang
disampaikan oleh anak bungsu, anak tertua pun bertanya, “Luarbiasa, tapi dari
mana memperoleh kayu untuk membuat rangka bedug yang dapat berdengung begitu
lama.”
“Tentunya dari pohon besar yang
engkau temukan di dalam hutan.” jawab anak bungsu. Anak nomor dua pun juga
bertanya, “Bila begitu, alat apakah yang digunakan untuk membuat rangka bedug
itu?”
“Tentunya alatnya adalah pahat besar yang kau temukan di tengah jalan.”
Jawab anak bungsu.
“Lalu, di mana memperoleh kulit
untuk membuat bedug tersebut!?” teriak anak nomor tiga.
“Kulitnya diperoleh
dari kulit kerbau raksasa yang engkau temukan.” Jawab si bungsu. “Untuk
menggantung bedug itu bagaimana caranya, dari mana bahan untuk membuat pengikat
dan gantungan bedug tersebut.” Tanya anak nomor empat.
“Rotan panjang yang kau temukan
itulah yang menjadi pengikat dan menggantungkan bedug tersebut.” Jawab anak
bungsu. “Wow!! Bedug itu sungguh luarbiasa sekali besarnya, aku jadi
bertanya-tanya di simpan di mana bedug sebesar itu?” Tanya anak nomor lima.
Anak bungsu pun menajwab dengan perlahan,” Bukankah ada masjid yang sangat
besar, tempat di mana kau pernah sholat di dalamnya. Di situlah bedug itu di
simpan, bila kau memperhatikan dengan teliti setiap sudut masjid tersebut, maka
pastilah kau akan menemukan bedug tersebut.”
Mendengar cerita anak bungsu itu,
kelima kakaknya pun mengangguk-angguk terkagum dibuatnya. Akhirnya, anak tertua
pun berkata mewakili keempat saudaranya yang lain, “Engkaulah dik yang menjadi
pemenangnya, mulai saat ini engkau berhak memiliki seluruh sawah berjumlah lima
petak warisan dari ayah!”
Asal Cerita : Sulawesi Selatan
Buen
Manik
Ada
seorang anak perempuan bernama Buen Manik. Ia seorang anak yatim,ayahnya sudah
meninggal. Ia tinggal bersama Ibunya dan seorang adik kecil perempuannya yang
bernama Kalisu. Setiap hari pekerjaan ibunya adalah menenun.
Pada
suatu hari ketika ibunya sedang menenun ia menyuruh Buen Manik memasak. Sesudah
ia memasak nasi, ia bertanya kepada ibunya " Lauk apa yang akan ku masak ?
" Kata Ibunya " Ada Sayur Kalisu di situ ambillah dan masaklah. Lalu
Buen Manik mengambil adiknya kalisu lalu dipotong dan di masak. Tidak lama
kemudian Buen Manik memanggil ibunya dan berkata " Mari Ibu kita makan
" Lalu Ibunya meninggalkan pekerjaannya dan datang makan karena ia sudah sangat
lapar. Sementara makan, Ibunya menemukan jari anaknya, Kalisu. Ibunya bertanya
" Apakah engkau sudah memasak jari adikmu ? " Jawab Buen Manik "
Betul, bukankah biu yang menyuruh aku memasak Kalisu ? " Maka maralah
Ibunya mendengar hal ini, lalu diambilnya alat tenunnya memukul kepala Buen
Manik. Buen Mani segera melarikan diri. Ibunya mengikutinya dari belakang.
Tidak
Lama Buen Manik sampai ke sebuah Batu yang tegak dan Buen Manik bersenandung
katanya "Batu yang berlobang, batu yang berlobang, bukalah dirimu
agar aku masuk kedalamnya Ibuku mengejarku Orangtua ku memarahiku dengan
sangat " Tidak berapa lama terbukalah batu itu dan Buen Manik meloncat
kedalamnya. Ketika Buen Manik telah ada didalamnya, batu itu tertutup kembali.
Ketika tiba di tempat itu, menangislah sang ibu di pinggir batu itu. Kemudian
ia mendengar suara yang berpesan agar dia datang tiga hari lagi. Setelah tiga
hari ia kembali ke tempat itu ia bersenandung "Batu yang berlobang, batu
yang berlombang bukalah dirimu agar aku dapat bertemu dengan anak kekasihku,
darah dagingku.
Lalu
batu itu terbuka, tetapi yang keluar dari dalam bukanlah Buen Manik melainkan
Burung Tekukur yang keluar bertebaran dan terbang jauh
Asal Cerita : Toraja
Bulalo lo Limutu
Kamu tentu pernah makan
jeruk. Ada yang masam, ada juga yang manis. Pernahkah kamu mendengar kisah
tentang sebuah danau yang konon terbentuk karena jeruk yang berasal dari
kahyangan. Ayo kita baca kisahnya berikut ini…
Pada zaman dahulu, ada
mata air bernama Tupalo di Limboto. Konon, mata air ini biasa didatangi oleh
gadis kahyangan untuk mandi atau sekedar bermain air. Suatu ketika turunlah
jejaka tampan dan perkasa dari kahyangan, namanya Jilumoto yang berarti
(seseorang) yang menjelma datang ke dunia. Suatu kala, dia berhasil
menyembunyikan sayap milik Mbu’i Bungale, bidadari tertua yang sedang mandi di
Tupalo. Singkat cerita, mereka bertemu, saling jatuh cinta dan menjadi
suami-istri. Mereka memutuskan menjadi penghuni dunia dan membangun rumah serta
berkebun di bukit yang diberi nama Huntu lo Ti’opo alias bukit kapas.
Suatu ketika, Mbu’i Bungale mendapat kiriman mustika
sebesar telur itik yang disebut Bimelua. Dia menyimpannya di Tupalo, tempat ia
biasa mandi dan menutupnya dengan sebuah Tulo (tudung). Pada suatu hari, ada
empat pengembara yang sampai di Tupalo. Melihat airnya yang jernih, serta-merta
mereka mandi di Tupalo itu. Selesai mandi, mereka melihat tudung terapung
diatas air. Mereka lalu mendekat dan bermaksud membuka tudung tersebut. Namun
dalam sekejap, terjadi badai dan angin topan yang dahsyat disertai hujan deras.
Para pengembara pun segera berlindung ditempat yang aman. Setelah badai dan
hujan telah berhenti, mereka kembali ke mata air.
Tak lama kemudian, datanglah Mbu’i Bungale dan suaminya
untuk mengambil Bimelula. Ketika Mbu’i Bungale mendekati tudung, ia dihadang
oleh empat pengembara yang tak dikenalnya. Mereka bertengkar soal siapa pemilik
Bimelula dan penguasa Tupalo. Klarena marah, Mbu’i Bungale berkata, “Jika
kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata
air ini menjadi danau!”. Mereka menerima tantangan tersebut, namun setelah
keempat orang itu mencoba, hasilnya nihil. Kondisi mata air seperti sedia kala.
Dengan napas tersengal, pemimpin mereka berkata, “perlihatkan kepada kami jika
Engkau benar-benar sebagai pemilik mata air ini”. Mbu’i Bungale mengiyakan, dia
lalu bersedekap sambil merapatkan kedua tangannya kemudian berteriak agar mata
air melebar dan meninggi. Seolah disuruh tuannya, Tupalo pun melebar dan
meluas. Mbu’i Bungale dan suami dalam sekejap telah berada diatas pohon.
Sementara keempat orang itu kagum sekaligus ketakutan karena air kian meninggi.
Mereka lalu memohon ampun sekaligus minta diselamatkan. Mbu’i Bungale turun
dari pohon, mengambil tudung dan mustika sembari menyelamatkan keempat
pengembara.
Beberapa saat kemudian,
Bimelula menetas dan keluarlah gadis kecil yang cantik. Gadis itu dinamai
Tolango Hula yang berasal dari kata Tilango lo Hulalo (cahaya bulan). Kelak,
dia dinobatkan menjadi raja Limboto. Ketika bersia kembali kerumah, Mbu’I
Bungale melihat lima buah jeruk terapung di danau. Dia mengambilnya dan
merasakan aroma yang sangat harum. “Ini layaknya buah jeruk (limau atau lemon)
di negeri kahyangan,” ujarnya kepada sang suami. Sambil memegang buah tersebut,
mereka menamai danau itu, Bulalo lo limu o tutu yang berarti danau dari jeruk
yang berasal dari kahyangan. Lini danau tersebut dikenal dengan nama Bulalo lo
Limutu.
Asal Cerita : Gorontalo
Legenda Lahilote
Dahulu kala ada seorang laki-laki bernama Lahilote yang tinggal di hulu
sungai dekat mata air. Pekerjaannya sehari-harinya adalah mencari rotan di
hutan. Pada suatu hari tanpa disangka-sangka ia melihat tujuh bidadari yang
sedang mandi di sungai. Canda tawa terdengar dari kejauhan. Ketika mereka
sedang mandi, Lahilote mencuri sebuah selendang salah satu bidadari dan
menyembunyikannya di suatu tempat. Setelah beberapa lama para bidadari ini baru
sadar, rupanya ada orang yang sejak tadi mengintip mereka mandi. Kehadiran
Lahilote secara tiba-tiba sungguh mengagetkan para bidadari tersebut. Mereka
cepat-cepat keluar dari sungai dan segera terbang ke langit menuju kayangan,
kecuali satu orang bidadari yang kehilangan selendangnya sedih dan bingung
sepeninggal teman-teman bidadarinya. Singkat cerita, bidadari yang tertinggal
itu berhasil dibujuk dan dinikahi Lahilote.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Hingga pada suatu
hari seperti biasa, Lahiloter mencari rotan ke hutan. Ketika sedang
membersihkan rumah, tanpa sengaja isteri Lahilote menemukan selendangnya yang
hilang dalam sebuah tabung bambu. Ia senang sekali karena selendangnya telah
ditemukan. Saat itu juga ia terbang ke tempat asalnya, yaitu kayangan.
Pada
hari itu Lahilote merasa sangat beruntung karena rotan yang didapatnya lebih
banyak dari biasanya. Ia berjalan pulang dengan gembira. Tapi ketika ia pulang
kegembiraannya lenyap. Tabung bambu sudah kosong dan isterinya telah kembali
kekayangan. Ia benar-benar gundang. Tiba-tiba seorang Polah yaitu suatu suku
yang tinggal di tengah hutan hadir di hadapannya. Ia memegang rotan sebuah
rotan hutiya mala. Sang Polahi berkata. "Rotan ini memandumu kekayangan.
"Temukan isterimu di sana!"
Singkat
cerita, Lahilote terbang ke kayangan dan bertemu dengan isterinya. Lahilote dan
isterinya bersatu kembali dikayangan. Hingga pada suatu wakut, Lahilote bersama
isterinya sedang asyik duduk berdua. Lahilote duduk di atas sebatang kayu.
Sementara itu, istrinya sibuk mencari kutu di kepala Lahilote. Ia terkejut
melihat uban yang ada dikepala suaminya. Ia teringat peraturan bahwa
seorang yang beruban tidak abadi dan tidak boleh ada di kayangan. Lahilote
menanyakan apa alasannya. Istrinya menjawab:
"Apalah
arti sebuah cinta kalau Tuan sudah beruban, apalah artinya sebuah kayangan
kalau tuan tinggal bayangan. Lahilote tidak menyangka akibatnya sungguh berat.
Ia benar benar sedih dan terpukul dibuatnya. lalu ia turun ke bumi menggunakan
sebilah papan.
Sesampainya
di bumi Lahilote bersumpah, "Sampai senja umurku nanti, berbatas pantai
Pohe berujung kain kafan, di sana telapak kakiku akan terpatri sepanjang
jaman." selesai berkata demikia dengan seluruh kesedihan dan jiwa yang
merana Lahilote menginjakan kakinya sekuat tenaga hingga berdarah pada sebuah
batu.
Batu berbentuk telapak kaki
itu dapat ditemukan di pantai Pohe Gorontalo. Menurut kepercayaan setempat,
batu itu adalah telapak kaki Lahilote yang bersedih karena terbuang kekayangan.
Asal Cerita : Gorontalo
Legenda
Kusunagi
Menurut kojiki, dewa Jepang
Susa-no-o sedang menolong sebuah keluarga yang berdukacita dari Kunitsukami
(dewa-dewa bumi) yang dikepalai Ashinazuchi di provinsi Izumo. Ashinazuchi
bercerita pada Susa-no-o bahwa keluarganya sedang diancam oleh monster ular
berkepala 8 (Yamata no Orochi). Monster tersebut telah memakan 7 dari 8
anak perempuan keluarga tersebut. Putri yang tersisa adalah Putri Kushinada.
Susa-no-o, yang merupakan adik laki-laki dewi Amaterasu (lihat gambar atas),
menyelidiki hal tersebut dan kembali dengan sebuah rencana untuk mengalahkan
Yamata no Orochi. Sekembalinya dari perjalanan, ia menikahi putri Kushinada.
Dalam melakukan rencananya membunuh Yamata no Orochi, ia menyiapkan 8 tong sake
yang diletakkan di belakang pagar dengan 8 gerbang. Yamata no Orochi kemudian
tertarik pada umpan tersebut dan kepalanya masuk ke masing-masing gerbang.
Dalam kesempatan ini Susa-no-o menyerang dan membunuh monster tersebut dengan
pedang Worochi no Aara-massa. Dia membelah tiap kepala sampai ekornya dan pada
ekor yang keempat, dia menemukan pedang di dalamnya. Lalu ia menamakan pedang
tersebut Ama no Murakumo no Tsurugi yang kemudian dipersembahkan kepada
Amaterasu untuk kedukaannya yang lalu tentang masalah Yamata no Orochi.
Generasi selanjutnya, di
bawah kekuasaan kekaisaran ke-12, Keikō, Ama no Murakumo no Tsurugi diberikan
kepada seorang pejuang hebat, Yamato Takeru sebagai salah satu dari sepasang
hadiah dari bibinya, Yamato-hime, wanita kuil dari Kuil Ise, untuk melindungi
keponakannya dari bahaya.
Hadiah tersebut berguna
saat Yamato Takeru dijebak dalam padang rumput saat berburu oleh dewa perang
yang jahat. Dewa tersebut memiliki panah berapi untuk membakar rumputnya dan
menjebak Yamato di dalam padang rumput agar ia mati terbakar. Dewa tersebut
juga membunuh kuda pejuang itu untuk mencegah pelariannya. Akhirnya, Yamato
Takeru menggunakan Ama no Murakumo no Tsurugi untuk memotong rumputnya. Saat
melakuan hal ini, ia mengetahui bahwa pedang tersebut membuatnya bisa mengotrol
angin mengikuti arah tebasannya.
Memanfaatkan keuntungan
sihir ini, Yamato Takeru memakai hadiahnya yang lain, penembak api, untuk
memperbesar api pada daerah sang dewa dan anak buahnya berada, dan ia memakai
angin yang dikontrol olehpedang untuk menyapu kobaran api di dekat mereka
sehingga apinya membesar. Dalam kemenangannya, Yamato Takeru menamai pedangnnya
Kusangi no Tsurugi(Pedang Penebas Rumput) untuk mengingat-ingat kesulitan
pelariannya dan kemenangannya. Akhirnya Yamato Takeru menikah dan mati dalam
pertempuran dengan monster, setelah tidak menghiraukan nasehat istrinya untuk
membawa pedang Kusanagi no Tsurugi bersamanya.
Asal Cerita : Jepang
LUTUNG KASARUNG
Pada jaman dahulu kala
di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang
bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung. Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan
adiknya Purbasari. Pada saat mendekati
akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai
pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki
kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan
Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai
penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya.
Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya.
Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu
memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi
bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya
tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !”
ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh
seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih
tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia
pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir,
Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar
Purbasari.
Selama di hutan ia
mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara
hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera
tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu
menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta
buah-buahan bersama teman-temannya.
Pada saat malam bulan
purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu
bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa
Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung
merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya
mengandung obat yang sangat harum.
Keesokan harinya
Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga
tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya.
Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya.
Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari
sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.
Di istana, Purbararang
memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan
para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan
saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti
semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu
panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”,
kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia
meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.
“Baiklah aku kalah,
tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata
Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan
kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung
Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa
terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.
Pada saat itu juga
Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung
Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih
dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira.
Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia
memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang
baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali
ke Istana.
Purbasari menjadi
seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata
selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.
MENTIKO BETUAH
Pada zaman dahulu di
Negeri Semeulue tersebutlah seorang raja yang kaya raya, arif, dan bijaksana.
Sayangnya, ia tidak memiliki seorang putra mahkota. Maka pergilah sang raja
bersama permaisuri ke hulu sungai untuk berlimau. (mandi dengan menyiram tubuh
dan kepala) dan bernazar (berjanji pada diri sendiri) agar dikaruniai seorang
anak.
Setelah menunggu-nunggu
lama, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri melahirkan seorang anak
laki-laki, dan diberi nama Rohib. Raja segera memukul beduk dan memberitahukan
kepada rakyat tentang kelahiran anaknya dengan gembira.Raja dan permaisuri
sangat sayang terhadap anaknya sehingga tidak terasa mereka menjadi orangtua
yang sangat memanjakan anaknya.
Ketika sudah besar anak itu, dikirimlah dia ke kota untuk
menuntut ilmu. Ia mendapat pesan dari ayahnya agar tekun belajar. Sayangnya setelah
lama belajar, ia tak juga menyelesaikan sekolahnya. Ayahnya menjadi sangat marah.Tetapi
permaisuri tak sampai hati untuk menghukum anak itu. Ia berlutut di hadapan
raja untuk mengampuni sang putra mahkota. “Biarkan dia pergi berdagang,” kata
permaisuri. Maka diusirnya anak itu dan diberi modal untuk berdagang. Ketika si
Rohib hendak pergi berdagang, di tengah jalan bertemulah dia dengan anak-anak
yang sedang berburu burung dengan ketapel. Rohib menegur mereka karena perbuatan
itu tidaklah baik.Tetapi anak- anak kampung itu menjadi marah. Lalu Rohib menawarkan
sebagian uangnya agar mereka berhenti menembaki burung. Tawaran itu tentu saja diterima
dengan senang hati.
Di tempat lain, Rohib bertemu pula dengan orang-orang
kampung yang sedang memukuli ular. Rohib tidak tega melihatnya dan menawarkan sebagian
uangnya lagi agar mereka berhenti memukuli ular. Kembali tawaran itu diterima dengan
senang hati. Begitulah yang dilakukan Rohib setiap kali melihat ada orang
menganiaya binatang sepanjang perjalanannya. Sehingga tanpa disadarinya modal
untuk berdagang itu kian menipis dan nyaris habis. Untuk pulang ia tak berani.
Maka berhentilah ia di tengah hutan karena kelelahan dan bingung. Ia menangis sedih
meratapi nasibnya.
Tiba-tiba datanglah seekor ular besar mendekatinya. Rohib
sangat ketakutan. Dikiranya ia akan dimakan ular itu. Tetapi ular itu berkata,
“Jangan takut anakku. Aku tak akan memangsamu.”
“Hai ular besar, siapakamu? Kenapa bisa berbicara seperti
manusia?”
“Sesungguh nya aku hendak memberi kamu hadiah karena kamu
telah melindungi binatang yang ada di hutan ini dari aniaya manusia.”Lalu ular itu
mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.
“Benda apakah itu?” Rohib penasaran.
“Inilah yang disebut Mentiko Betuah. Apapun yang kau minta
akan dikabulkan.”
Maka dengan berbekal mentiko
betuah itu pulanglah Rohib. Sebelum sampai ke istana ia minta uang yang berlimpahsebagai
ganti modal dagangnya yang telah dibagi-bagikan pada orang dengan berlipat ganda.
Permohonan itu terkabul. Berkat uang banyak itu Rohib diterima kembali oleh ayahnya.
Setelah itu Rohib berpikir bagaimana menyimpan mentiko betuah agar tidak hilang.Lalu
ia ingin menempanya menjadi cincin. Pergilah ia ketukag emas. Tetapi situkang emas
menipunya dan lari. Rohib meminta pertolongan pada anjing, kucing, dan tikus untuk
menemukan kemana larinya si tukang emas dan merebut kembali mentikobetuah miliknya.
Anjing dengan indra penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang
telah melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran kucing dan tikus untuk mencari
bagaimanacara mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas.
Pada tengah malam, tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung tukang emas
yang sedang tertidur. Tak berapa lama, tukang emas itu bersin, sehingga mentiko
betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, tikus segera mengambil
benda itu.
Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib,
tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh ke dalam
sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya. Maka kedua temannya
segera mencari benda itu ke dasar sungai. Sementara itu tikus segera menghadap kepada
Rohib untuk mengembalikan mentiko betuah. Dengan demikian, tikuslah yang
dianggap sebagai pahlawan. Mengetahui hal ini, kucing dan anjing sangat marah karena
tikus telah melakukan kelicikan. Sejak saat itu, konon kucing dan anjing sangat
membenci tikus dimanapun berada.
Asal Cerita : Aceh
PADI SEBESAR KELAPA
Dahulu kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi
sebesar buah kelapa. Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya.
Padi itu ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang
ditemukan itu bukanlah padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji
padi sebesar kelapa lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya
bahwa padi itu merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan
berkah dengan turunnya padi itu ke tempat mereka.
Saat musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa
tersebut ke sawah yang akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat
berkumpul untuk melakukan doa bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah
dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi
oleh lagu yang bersyair doa dan pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan
dengan Nandung. Kulit padi mereka pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian
Dewi Sri.
Waktu terus berjalan. Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali
berkumpul dan bersama-sama melakukan panen. Panen pertama ini mereka lakukan
hanya untuk sebagian kecil padi yang akan digunakan untuk acara makan bersama.
Saat akan menuai padi, mereka menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan
puji-pujian kepada Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah
dituai kemudian diirik dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi
beras, padi itu dimasak dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam
acara itu padi sebesar kelapa itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka
melagukan syair-syair yang intinya adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan
keselamatan kepada Tuhan. Acara makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat
secara bersama-sama memanen seluruh padi.
Setelah seluruh padi
selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang tinggal. ini
lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan Salibu. Padi itu
ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu kemudian di panen. Setelah
dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga
berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu dilakukan oleh
muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama proses itu tidak jarang ada
muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari Salibu kemudian dimakan
bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu.
Asal Cerita : Palembang
Pengembara
Dan Sekantong Uang
Dua
orang pengembara berjalan bersama di suatu jalan, dan salah satu pengembara
tersebut menemukan sebuah kantung yang penuh berisikan uang.
“Betapa
beruntungnya saya!” katanya, “Saya telah menemukan sebuah kantung berisi uang.
Menimbang dari beratnya, saya rasa kantung ini pasti penuh dengan uang emas.”
“Jangan
bilang ‘SAYA telah menemukan sekantung uang’,” kata temannya. “Lebih baik kamu
mengatakan ‘KITA telah menemukan sekantung uang’. Pengembara selalu berbagi
rasa dengan pengembara lainnya, baik itu dalam susah maupun senang.”
“Tidak,
tidak,” kata pengembara yang menemukan uang, dengan marah. “SAYA menemukannya
dan SAYA akan menyimpannya sendiri.”
Saat
itu mereka mendengarkan teriakan teriakan di belakang mereka “Berhenti,
pencuri!” dan ketika mereka melihat ke belakang, mereka melihat sekumpulan
orang yang terlihat marah dan membawa pentungan kayu dan tongkat, berlari ke
arah mereka.
Pengembara
yang menemukan uang tadi langsung menjadi ketakutan.
“Celakalah
kita jika mereka melihat kantung uang ini ada pada kita,” katanya dengan
ketakutan.
“Tidak,
tidak,” jawab pengembara yang satu, “kamu tidak mengatakan ‘KITA’ sewaktu
menemukan sekantung uang, sekarang tetaplah menggunakan kata ‘SAYA’, kamu
seharusnya berkata ‘celakalah SAYA'”.
Dan
sekumpulan orang yang marah itu pun segera menangkap si pengembara yang
menemukan uang.
Asal Cerita : Yunani
PULAU
SENUA
Pada zaman dahulu, di
pulau natuna hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Hidup mereka dari hari
kehari tak pernah membaik. Semua pekerjaan yang mereka upayakan tak pernah bisa
cukup untuk sekedar memperbaiki nasib. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja
lebih sering tak cukup. Hingga suatu hari, sang suami yang bernama baitusen
mendengar cerita tentang pulau buguran yang kaya akan hasil lautnya. Maka, tak
menunda waktu lama-lama berangkatlah baitusen dan mail amah, istri yang
dicintainya ke pulau tersebut. Sesampai dipulau bunguran, baitusen bekerja
sebagai nelayan pengumpul siput dan kerang seperti pekerjaan penduduk lainnya.
Sedangkan istrinya, mai lamah membantu membuka kulit kerang untuk dijual
sebagai bahan perhiasan.
Lama berselang setelah
mereka tinggal di pulau bunguran kehidupan baitusen dan istrinya sudah mulai
membaik, mereka hidup berbahgia. Tak hanya itu, penduduk pulau bunguran sangat
menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan suka menolong tanpa pamrih apapun. Itu
juga yang membuat baitusen kerasan tinggal di sana. Kebahagiaan baitusen dan
mai lamah makin bertambah ketika mai lamah mengandung baitusen yang begitu tau
perihal kehamilan istrinya semakin giat bekerja hasil tangkapannya sekarang
bukan hanya kerang. Baitusen mulai mencari teripang dan hasil laut lainnya,
harga teripang kering di daratan cina sangat mahal. Dengan sekuat tenaga,
baitusen mengupayakan apa saja demi kesejahteraan keluargannya, dia tidak ingin
anaknya hidup susah seperti yang pernah dialami sebelumnya. Kegigihan baitusen
bekerja membuahkan hasil namanya semakin terkenal diantara pedagang cina
pembeli teripang kering, tak perlu menunggu lama sejak menjadi nelayan penagkap
teripang baitusen menjadi orang terkaya dan terpandang dikampungnya.
Agaknya kekayaan dan
hidup mewah telah membuat mata hati mai lamah. Mai lamah telah menjadi nyonya
kaya yang tinggi hati lengkap dengan dandana yang seakan-akan menunjukan
kesombongannya. Mai lamah lupa daratan, silaunya harta telah merubah acap dia
berkata kasar dan menyakiti hati tetangganya di tambah lagi sifat kikir dan tak
peduli pada kesusahan tetangga. Teguran demi teguran dari suaminya tak pernah
dihiraukan, para tetangga mulai manjauh dari keluarga baitusen perlahan-lahan.
Mereka mulai enggan untuk menyapa mai lamah, tetapi mai lamah justru merasa
beruntung. “Baguslah lagi macam ini tak banyak yang menyusahkan hidup kita
bang,” begitu ucapan mai lamah Pada suaminya pada suatu hari. Baitusen coba
menasehati tapi, yang didapat baitusen hanya kemarahan dari mai lamah. Mai
lamah tidak bisa lagi masuk nasehat. Hari berlalu begitu cepat hingga tak
berasa tibalah waktunya bagi mai lamah untuk melahirkan. Baitusen yang panic
mendengar erangan sakit dari istrinya, mencari pertolongan pada dukun beranak
kampung yang biasa menolong orang-orang. Akan tetapi, karena rasa sakit hati
akan ucapan mai lamah yang pernah menghin dirinya,membuat dukun beranak tadi
tak sudi menolong mai lamah hatinya terlanjur luka oleh perkataan istri
baitusen.
“Baik kita kedukun
beranak di seberang sana saja,dik” baitusen mencoba membujuk istrinya, “abang
dengar dekat sana ada yang bisa
membantu. Baik kita bergegas.” Mai lamah yang tak punya pilihan lain akhirnya
setuju,”tapi jangan lupa bang bawa juga semua emas kita, bang.” Baitusen terpaksa
menurut dan kembali lagi untuk mengambil emas dan memasukannya ke perahuyang
akan membawah mereka keseberang. Baitusen mendayung perahu dengan sekuat tenaga
agar tiba di pulau seberang lebih cepat. Namun, sekuat apa pun baitusen
mengayuh perahunya tetap saja tidak bisa bergerak lebih cepat. Gelombang pasang
memperlambat laju perahu, di tambah lagi peti- peti emas yang memberati kapal.
Semakin ke tengah, perahu semakin berguncang diamuk arus gelombang. Setengah
mati baitusen mandayung hingga habis seluruh tenaganya, air semakin banyak
masuk kedalam perahu. Mai lamah menjerit ketakutan di ujung sana, ombak besar
menunggu untuk melahap perahu mereka, dengan sekali sapuan perahu terombang
ambing hingga kemudian terbalik dan tenggelam. Tubuh baitusen dan mai lamah
hanyut terbawah gelombang air laut dan terdampar di pantai pulau bunguran
timur.
Hujan deras dan angin
kencangberapadu dengan kilat tak berhenti, petir dan tiupan angin seolah saling
bersahutan menyambut kedatangan sepasang suami istri yang terkapar di bibir
pantai. Mai lamah yang berbadan dua tersambar petir berkali-kali hingga
mengubah tubuhnya menjadi batu.Semakin lama, batu jelmaan mai lamah semakin
membesar dan menjadi sebuah pulau yang di namakan pualu senua. Sedangkan
perhiasan emas yang dikenakan mai lamah berubah menjadi pulau bunguran.
Asal Cerita : Kepulauan Riau
PUTRI JUNJUNG BUIH
Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak
asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya. Tapi siapa sesungguhnya
Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya
diselimuti kisah legenda.
Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah
plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati
bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera. Plaza itu lenyap seiring
pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan
tetap ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama
Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik
kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.
Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai istri
Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah putri raja pertama di
Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri
Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata
adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja
Makedonia).
Kisah tentang seorang bayi yang ditemukan oleh raja dan diasuh hingga dewasa
kemudian menjadi penerus tahta kerajaan. Cerita rakyat dari Kalimantas Selatan
ini merupakan salah satu dari cerita rakyat Indonesia yang cukup terkenal.
Cerita rakyat putri cantik junjung buihKerajaan Amuntai dipimpin oleh dua
bersaudara, yakni Padmaraga yang disebut Raja Tua dan Sukmaraga yang biasa
disebut Raja Muda. Keduanya tidak berputra. Oleh karena itu, mereka terus
berdo’a agar segera dikaruniai keturunan. Raja Muda berdo’a di sebuah tempat
dekat Kota Banjarmasin. Begitu kuanya dia memohon sehingga tak lama kemudian,
istrinya hamil dan dianugerahi sepasang anak kembar yang rupawan.
Demikian pula Raja Tua berdo’a di Candi Agung, di luar Kota Amuntai. Setelah
sekian lama berdo’a dia pulang ke Amuntai. Dalam perjalanan pulang, dia
melewati sebuah sungai. Tampak olehnya seorang bayi perempuan yang sangat
cantik terapung-apung di atas sungai, tepat di atas buih. Padmaraga
menghentikan perjalananya. Kemudian Raja Tua memerintahkan pada Datuk Pujung
tetua istana untuk mengambil bayi di atas buih tersebut. Raja Tua ingin
menyelamatkan bayi itu dan menjadikannya sebagai anak asuhnya.
Datuk Pujung segera mendekat ke tempat buih yang di atasnya terbaring bayi
perempuan itu. Datuk Pujung berusaha mengambil bayi itu, tetapi buih bergerak
terus mengombang-ambingkan si bayi. Rupanya bayi itu sangat susah di dekati.
Kemudian dengan tiba-tiba bayi itu berbicara kepada Datuk Pujung. Bayi tersebut
bersedia ikut dengan Raja Tua asalkan permintaannya dipenuhi. Semua orang yang
mendengar terheran-heran. Bagaimana mungkin ada seorang bayi yang bisa bicara.
Datuk Pujung terperanjat. Ketika bayi itu berkata bahwa dirinya akan ikut ke
istana dengan Raja Tua asalkan diberi selembar kain dan selimut yang selesai
ditenun dalam waktu setengah hari. Selain itu, bayi tersebut juga ingin
dijemput oleh empat puluh wanita cantik. Permintaan bayi itu disampaikan kepada
Raja Tua. Raja Tua segera memerintahkan untuk mencari empat puluh wanita cantik
dan mengumumkan sayembara untuk menenun kain dan selimut dalam waktu setengah
hari.
Banyak yang mengikuti sayembara, tetapi belum ada yang dapat menyelesaikan
tenunan dalam waktu setengah hari. Sampai kemudiam, datanglah seorang perempuan
bernama Ratu Kuripan. Ratu Kuripan dapat menyelesaikan tugasnya menenun
selembar kain dan selimut dalam waktu setengah hari. Hasilnya pun sangat
mengagumkan.
Bayi di atas buih itu pun dapat diambil dan diangkat anak oleh Raja Tua. Bayi
itu kemudian dinamai Putri Junjung Buih. Sementara itu, Ratu Kuripan diangkat
menjadi pengasuh Putri Junjung Buih. Ratu Kuripan mengajarkan semua ilmu yang
dimilikinya dan membimbing Putri Junjung Buih hingga dewasa. Karena
kecerdasannya, Putri Junjung Buih tumbuh menjadi putri yang sangat cantik serta
dikaruniai kepandaian yang luar biasa. Raja Tua sangat menyayanginya. Kelak di
kemudian hari, Putri Junjung Buih menjadi anutan takyat Amuntai dan menikah
dengan pangeran dari kerajaan Majapahit. Akhirnya mereka menurunkan raja-raja
yang berkuasa di wilayah Kalimantan.
Asal Cerita : Banjarmasin
SANGKURIANG
Pada
jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang
Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak
tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu
ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang
sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi
Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.
Pada
suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah
sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor
burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang
langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah
Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau
mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka
Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya
lagi.
Sesampainya
di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu
mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok
nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan
perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan
meninggalkan rumahnya.
Setelah
kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap
hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena
kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah
berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah
bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang
ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena
kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut
bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat
cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan
kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya
lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di
waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk
berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk
mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi,
karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas
luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya
kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah
tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya
sendiri.
Dayang
Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya
sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara
kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka.
Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya
dianggap angin lalu saja.
Setiap
hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah
terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik.
Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat
memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi
sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama
Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah,
meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang
sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang
menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya,
Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu
menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja
dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir
menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang
Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera
berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur
kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung
menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah
diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan
rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah
dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan
seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah
dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah
gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Asal Cerita : Jawa Barat
Telaga Pasir
Kyai
Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung
Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu
sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan.
Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan
tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan
sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga
paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala
gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.
Pada
suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di
ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang
yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang
beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba
Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah
salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak
sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu.
Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa
bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur
itu dan diberikan kepada isterinya.
Kyai
Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai
dia bawa pulang.
Akhirnya
kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo
telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu
oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi
keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.
Dalam
perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru
saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku
serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi
seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir
tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat
kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan
yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana
kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud
menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular
Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.
Alkisah,
Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus
tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai
Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir
menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.
Karena
derita yang disandang ini akhirnya Nyai Pasir lari ke ladang bermaksud menemui
suaminya untuk minta pertolongan. Tetapi apa yang dijuumpai. Bukannya Kyai
Pasir, melainkan seekor ular naga yang besar sekali dan menakutkan. Melihat
ular naga yang besar itu Nyai Pasir terkejut dan takut bukan kepalang. Tetapi
karena sakit yang disandangnya semakin parah, Nyai Pasir tidak mampu lagi
bertahan dan rebahlah ke tanah. Nyai Pasir mangalami nasib gaib yang sama
seperti yang dialami suaminya. Demikian ia rebah ke tanah, badannya berubah
wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut, berjampang, giginya
panjang dan runcing sangat mengerikan. Kedua naga itu akhirnya berguling-guling
kesana kemari, bergeliat-geliat di tanah ladang itu, menyebabkan tanah tempat
kedua naga berguling-guling itu menjadi berserakan dan bercekung-cekung seperti
dikeduk-keduk. Cekungan itu makin lama makin luas dan dalam, sementara kedua
naga besar itu juga semakin dahsyat pula berguling-guling dan tiba-tiba dari
dalam cekungan tanah yang dalam serta luas itu menyembur air yang besar
memancar kemana-mana. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan
air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar yang disebut Telaga.
Telaga ini oleh masyarakat setempat terdahulu dinamakan Telaga Pasir, karena
telaga ini terwujud disebabakan oleh ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir.
Asal Cerita : Jawa Timur
TIMUN MAS
Pada zaman
dahulu,hiduplah sepasang suami istri petani.Mereka tinggal di sebuah desa di
dekat hutan .Mereka hidup bahagia.
Sayangnya mereka belum di karuniai
seorang anak pun.
Setiap hari, mereka berdoa kepada yang maha
kuasa .Mereka berdoa agar segera diberi
seorang anak.Suatu hari seorang raksasa melewati tempat mereka.Raksasa itu
mendengar doa suami isri itu .Raksasa itu kemudian memberi mereka
biji mentimun.
“Tanaman biji ini.Nanti kau akan mendapatkan
seorang anak perempuan,” kata raksasa.
“Terima kasih,raksasa,” kata suami istri itu .”Tapi ada syaratnya.Pada usia 17
tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut raksasa. Suami istri itu
sangat merindukan seorang anak.Karna itu tanpa berpikir panjang mereke langsung
setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam
biji-biji mentimun itu.Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu
dengan sebaik mungkin.Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun
berwarna keemasan.
Buah mentimun itu
semakin lama semakin besar dan berat.Ketika buah itu masak,mereka
memetiknya.Dengan hati-hati mereka memotong buah itu.Betapa terkejutnya
mereka,di dalam buah itu menemukan bayi perempuan yang sangat cantik.Suami
istri itu sangat bahagia.Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun
berlalu.Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.Kedua orang tuanya
sangat bangga padanya.Tapi mereka menjadi sangat takut.Karna pada ulang tahun
Timun Mas yang ke 17 tahun,sang raksasa datang kembali.Raksasa itu menagih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. “Tunggu
sebentar.Timun Mas sedang bermain.isriku akan memanggilnya,” katanya.Petani itu
segera menemui anaknya. “Anakku,ambillah ini,” katan ya sambil menyerahkan
sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan raksasa.Sekarang larilah
secepat mungkin,” katanya.Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih
atas ke pergian Timun Mas.Tapi mereka tidak relah kalau anaknya menjadi
santapan Raksasa.Raksasa menunggu cukup lama.Ia menjadi tak sabar .Ia
tahu,telah membohongi suami istri itu.Lalu ia akan mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas.Raksasa
semakin dekat.Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantong
kainnya.Lalu garam itu di taburkan kearah raksasa.Tiba-tiba sebuah laut yang
luaspun terhampar.Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas berlari
lagi.Tapi kemudian raksasa hampir berhasil menyusulnya.Timun Mas kembali
mengambil bendah ajaib dari kantungnya.Ia mengambil segenggam cabai.Cabai itu
di lemparnya ke arah raksasa .Seketika pohon dengan rantik dan duri yang tajam
memerangkap raksasa.Raksasa berteriak kesakitan.Sementara Timun Mas berlari
menyelamatkan diri.
Tapi raksasa sungguh
kuat.Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas.Maka Timun Mas pun mengeluarkan
benda ajaib ketiga.Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib.Seketika tumbuhlah
kebun mentimun yang sangat luas.Raksasa sangat letih dan kelaparan .Ia pun
makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap.Karena terlalu banyak makan
,Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali
melarikan diri.Ia melarikan diri sekuat tenaga .Tapi lama kelamaan tenaganya
habis.Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya.Raksasa lagi-lagi hampir
menangkapnya .Timun Mas sangat ketakutan.Ia pun melemparkan senjatanya yang
terakhir ,segenggam terasi udang.Lagi-lagi terjadi keajaiban.Sebuah danau
lumpur yang luas terhampar.Raksasa terjebak kedalamnya.Tangannya hampir
menggapai Timun Mas.Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar . Raksasa
panik.Ia tak bisa ber napas,lalu tenggelam.
Timun Mas lega.Ia
selamat,Timun Mas pun kembali kerumah orang tuanya.Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali meliahat putrinya
Timun Mas selamat.Mereka menyambutnya.”Terimah kasih Tuhan. Kau telah
menyelamatkan anak ku,”kata mereka
gembira .
Sejak itu Timun Mas
dapat hidup tenang bersama orang tuanya.Mereka dapat hidup bahagia tanpa
ketakutan lagi.
Asal Cerita : Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar