Sabtu, 06 Juni 2015

Halo Readers. . .

Pada kesempatan kali ini saya akan menge-post tentang cerita - cerita rakyat, walaupun enggak semua sih tapi cuma sebagian kecil. Ok langsung aja.


ASAL MULA BURUNG NTAAPO-APO

Dahulu, disebuah kampung di daerah muna, Sulawesi tenggara, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama la ane. Suaminya meninggal dunia saat la ane masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia Tanami ubi dan jagung untuk di makan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan.

Janda itu sangat saying kepada la ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar.namun, la ane yang telah menginjak usia remaja ia tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya Cuma gasingbersama teman-temanya. Ia hanya pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang ia kembali bermain gasing.

Sang ibu mulai tidak senang dengan kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya untuk pergi ke kebun, namun la ane selalu menolak.
            “ buat apa bekerja setiap har. Capek, bu, “ begitu selalu kata la ane.
            “ anakku, kita mau makan apa jika tak bekerja? “ ujar ibunya
“ ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-teman daripada ikut bekerja di kebun “ kata la ane dengan cuek.
“ kalau begitu, makan saja itu gasingmu! “ tukas ibunya dengan nada kesal.
            La ane tetap saja tidak peduli dengan nasehat ibunya.ia pergi meninggalkan rumah menuju rumah teman-temanya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukanya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang sudah dipotong keci-kecil lalu di tempatkan didalam kasopa ( tempat jagung da ubi ). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu di tempatkan didalam kaghua ( tempat sayur atau ikan ).
            “ huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas! “geram sang ibu.
Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, la ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat kasopa dan kaghua berisi potongan-potongan gasing dan talinya.
“ oh, ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali. “ keluh la ane.
Dengan perasaan sedih, la ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya.
“ Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik aku menjadi burung saja sehingga aku dapat terbang kesana kemari mencari makan sendiri. “ ucap la ane.
Ucapan la ne rupanya menjadi kenyataan. Ketika ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi oleh bulu yang berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat, anak mala situ pun berubah menjadi burung. Ia kemudian hinggap diatas atap rumahnya sambil berkicau merdu.
Saat hari menjelang sore, sang ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.
            “ la ane… la ane…, kamu dimana anakku?! “ teriaknya.
Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panic, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada didepan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu pun hamper pingsan ketika melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya.
            “ oh, anakku, maafkan ibu. Turunlah, nak! “bujuk sang ibu.
Nasi sudah menjadi bubur. La ane yang telah menjelma menjadi seekor burung tidak akan lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. ketika ibunya berteriak, ia udah tidak mendengarnya lagi. Ia hinggap di atas pohon pinang sambil  berkicau.
            “ ntaapo-apo… ntaapo-apo!” demikian kicauan burung itu.
Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bias melakukan apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuanya terhadap anak semata wayangnya itu.
Sejak peristiwa itu, burung yang suka berkicau “ ntaapo-apo “ dinamakan burung ntaapo-apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cendrawasihi itu masih sering terdengar kicauanya dari dalam hutan di daerah muna, Sulawesi tenggara.



Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.
Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, 

“Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing.”

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih. Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, “Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya.” Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

Asal Cerita : Kalimantan Timur


BATINGNA LEBONNA

Dahulu kala, hiduplah seorang seorang wanita cantik, berkulit putih, berhidung mancung, tinggi semampai dan berambut panjang dari Daerah Bau, Bonggakaradeng yang bernama Lebonna. Dalam perjalanan hidupnya, ia menjadi rebutan para lelaki, namun akhirnya ia jatuh hati pada seorang lelaki tampan, pemberani dan sakti bernama Massudilalong Paerengan. Dalam jalinan hubungan asmaranya, kedua sejoli ini mengikat janji untuk sehidup semati, dan saat meninggal nanti, keduanya harus dimakamkan dalam satu peti mati.

Seiring berjalannya waktu, hubungan asmara keduanya semakin mesra, dan akhirnya banyak pria yang cemburu terhadap Paerengan yang berhasil merebut hati Lebonna, begitu juga banyak wanita yang cemburu terhadap Lebonna yang berhasil merebut hati Paerengan, pemuda tampan dan pemberani. Namun, takdir berkata lain saat muncul kabar bahwa daerah tetangga akan melakukan penyerbuan, dan Paerengan yang memang dikenal sebagai ksatria, diminta untuk memimpin pasukan. Merekapun berangkat ke medan pertempuran untuk berperang (Mangrari).

Sementara itu Lebonna tinggal di Kampung sembari menenun menunggu kekasihnya kembali. Namun, saat terjadi pertempuran, salah seorang anak buah Paerengan diam-diam lari dari medan pertempuran, dengan maksud merebut Lebonna dengan menyampaikan kabar bohong mengenai kematian Paerengan, kepada Lebonna dengan berpura-pura sedih. Mendengar kabar tentang kematian sang kekasih, Lebonna sangat terkejut dan tidak sanggup menerima kabar tersebut. Bahkan ia sampai mengurung diri dan tak mau makan selama beberapa hari. Usaha anak buah Paerengan yang kabur dari medan perang itu ternyata tidak membuahkan hasil. Lebonna tak bergeming sedikitpun untuk dibujuk ataupun dirayu karena cintanya memang hanya untuk Paerengan. Tiap malam Lebonna selalu teringat akan janji yang telah ia sepakati bersama kekasihnya, Paerengan. Dan akhirnya, ia menepati janjinya untuk sehidup semati dengan kekasihnya dengan cara gantung diri.

Setelah tewas dan memilih gantung diri, demi membuktikan cinta sucinya, jenasah Lebonna kemudian dimakamkan yang terlebih dahulu harus melalui prosesi “dialuk”, kemudian dimakamkan di sebuah Liang batu, tepatnya di desa Salu Barani, Lembang Bua Kayu. Menurut cerita, pada saat mayat Lebonna di masukkan kedalam Liang, Pintu baru tiba-tiba tertutup rapat, dan rambut panjang Lebonna masih terurai keluar sampai bibir Gua. Menurut kepercayaan masyarakat Toraja, saat itu Lebonna masih belum rela masuk ke dalam Liang tanpa ditemani Massudilalong Paerengan, sang kekasih yang sudah mengikat janji dengannya untuk sehidup semati.

Paerengan pun kembali dari medan peperangan dengan kabar kemenangan, dan langsung menuju ke rumah Lebonna, kekasihnya yang sangat ia rindukan. Namun alangkah terpukulnya Paerengan, Lebonna gadis yang sangat ia cintai telah pergi untuk selama-lamanya.Setelah mengetahui kekasihnya telah tiada, kehidupan Paerengan sangat tidak menentu. Dia yang dikenal sebagai kesatria sejati dan sangat disegani, kini hidup dalam kondisi tertutup. Setiap hari ia selau bersedih, dan menyendiri. Dilematis, Paerengan harus memilih memenuhi janjinya sehidup-semati dengan Lebonna atau hidup untuk membela wilayahnya wilayahnya dari serangan musuh.

Hari-hari pun berlalu, tersebutlah seorang bernama Dodeng, pembantu Paerengan yang sangat dekat dengan Paerengan. Dodeng memiliki sebuah pohon enau yang berdekatan dengan Liang kubur Lebonna. Pada suatu ketika, Dodeng terlambat mengambil nira/tuak, sehingga ia harus berangkat setelah petang hari. Saat mengambil Tuak, Dodeng mendengar suara yang tidak asing lagi, suara yang ia ketahui dan kenal sebagai suara Lebonna. Sebagian masyarakat Toraja percaya bahwa arwah seseorang yang meninggal dengan cara bunuh diri akan tidak tenang, seperti halnya arwah Lebonna. Apa pesan yang ingin disampaikan Lebonna kepada Dodeng untuk disampaikan kepada kekasihnya Paerengan-Massudilalong ? Dodeng mendengarkan suara jeritan Lebonna mengenai kekasihnya yang belum memenuhi janjinya untuk sehidup-semati. Pesan Lebonna kepada Massudilalong melalui Dodeng tersirat melalui lirik sebuah lagu :

Dodeng mangrambi mandedek, Dodeng ma’pa tuang-tuang, rampananpi pededekmu, annapi te kamali’ku …. ammu perangina’ mati’, ammu tanding talingana’…. Parampoanpa kadanku, pepasan mase-maseku, lako to Massudilalong, muane sangkalamma’ku…
Mukua duka la sang mateki e so’ eee…. Paerengan o… Rendengku.
Angku dolo, angku mate(…) tae’ si la matena, lasisarak sunga’na, (…) Ulli-ulli soladuka Borro sito’doan duka(…) o Rendengku….

Artinya kurang lebih; Hei.. Dodeng yang mengambil tuak, hentikanlah dahulu aktivitasmu…. Dengarlah pesan deritaku… untuk kekasihku Massudilalong…. Katanya akan sependeritaan… Juga sehidup-semati…. Tapi semuanya cuma hampa… saya telah lama mati, bunuh diri karena janji… sementara dia masih hidup.

Dodeng yang mendengar suara rintihan penuh permohonan itu, tak sanggup berbuat apa-apa. Ia terpaku. Saat tersadar, ia langsung lari ke rumah Paerengan dan tak sempat mengambil tuak lagi. Sesampai di rumah, ia langsung keringat dingin dan jatuh sakit. Namun pesan Lebonna untuk kekasihnya tidak langsung disampaikan Dodeng, karena masih kurang percaya dengan apa yang ia dengar. Ia khawatir itu hanya khayalan belaka, kendati itu sempat membuatnya jatuh sakit. Akhirnya Dodeng kembali mencoba untuk mengambil ballo atau tuak, namun kali ini ia lebih awal datang. Alangkah terkejutnya Dodeng, suara itu kembali ia didengarkannya padahal belum terlalu gelap (malam). Mendengar suara sedih yang berintihkan pesan itu, Dodeng lalu mengambil langkah seribu tanpa membawa tuak .

Akhirnya perubahan sikap Dodeng membuat Paerengan curiga. Ia kemudian mendesak Dodeng untuk menceritakan apa yang terjadi padanya, Dodeng pun tak tahan dan menyampaikan hal tesebut kepada Paerengan. Tak yakin dengan cerita Dodeng, Paerengan pun ingin membuktikannya, sehingga keesokan harinya saat petang Paerengan ikut bersama Dodeng ke pohon enau, yg tak jauh dari pemakaman Lebonna. Setelah Dodeng naik keatas pohon enau, suara itu kembali terdengar. Paerengan yang hadir secara diam-diam menyimaknya dengan jelas. Setelah mendengar langsung pesan Lebonna itu, Paerengan pun langsung ke rumahnya, masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Ia sangat terpukul karena lalai dari janji setia yang telah disepakatinya bersama Lebonna, kekasih yang sangat dicintainya.

Tak menunggu lama Paerengan sang panglima perang meminta agar semua pasukannya berkumpul dengan membawa tombak. Ia beralasan akan melaksanakan upacara merok yaitu ritual dengan menyembelih kerbau dengan cara ditombak.

Esoknya, semua tentara berkumpul di lapangan terbuka. Semua keluarga Paerengan juga hadir. Saat itu, puluhan kerbau telah disiapkan, para tentara juga telah membawa tombak masing-masing. Paerengan kemudian meminta agar semua tentaranya menancapkan tombak dengan posisi mata tombak keatas. Saat semua warga dan tentara berkumpul, diam-diam Paerengan naik keatas atap pendopo yang memang sudah ada sebelumnya. Disangkanya akan menyampaikan pidato, namun ternyata ia justru melompat tepat diatas ratusan ujung tombak yang telah ditancapkan.

Paerengan pun tewas secara tragis, dan telah memenuhi janjinya. Pada saat Paerengan dimakamkan, bukan di tempat Lebonna dimakamkan, jenasah Paerengan selalu muncul lagi dirumahnya secara tiba-tiba. Kejadian ini terjadi tiga kali, sampai akhirnya Dodeng mengisahkan kejadian yang sebenarnya termasuk suara yang didengarnya saat hendak mengambil tuak. Setelah dimakamkan satu liang dengan Lebonna, barulah mayat Paerengan menjadi tenang.

Asal Cerita : Daerah Toraja


BATU MENANGIS

Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.

     Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?

"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"

Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.

"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"

"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"

Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.

"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia...."

Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu Menangis ".
Asal Cerita : Kalimantan



Bawang Merah dan Bawang Putih
Zaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang barrier kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Asal cerita : Riau


Bedug Si Bungsu

Pada jaman dahulu kala, di daerah Bugis, hiduplah enam orang bersaudara yang semuanya laki-laki. Mereka baru saja berduka karena ayah mereka meninggal dunia, dan hanya meninggalkan warisan berupa lima petak sawah. Mengetahui sawah warisan hanya lima petak, sedangkan mereka ada enam bersaudara, maka terjadilah pertengkaran hebat di antara mereka, sebab masing-masing ingin memiliki sawah tersebut.

Akhirnya anak yang paling tua di antara mereka mengusulkan agar mereka melakukan pertandingan bercerita, dan siapa saja yang paling besar dan ceritanya bisa membuat pendengarnya tercengang, maka dialah yang akan memiliki semua sawah sebanyak lima petak itu. Ke lima adik-adiknya pun setuju dengan usul tersebut. Maka mereka pun duduk membentuk lingkaran dan mulai melakukan pertandingan bercerita, dengan mempersilahkan saudara tertua mereka untuk memulainya.
Anak yang tertua pun mulai bercerita, “Suatu ketika, saya pergi ke dalam hutan dan mendapati pohon dengan batang yang sangat besar. Saking besarnya pohon tersebut, saya memerlukan waktu sehari semalam hanya untuk mengelilinginya.” Mendengar cerita itu, semua saudaranya mengganguk nganggukkan kepalanya.

Anak nomor dua pun berkata, “Itu belum seberapa, sebab saya menemukan pahat yang lebih besar dari pohon mu ketika sedang melakukan perjalanan. Pahat itu tertancap di tanah, saking besar dan tingginya pahat tersebut hingga ujung gagangnya mencapai langit ke tujuh.”

“Masih ada lagi yang lebih hebat dari cerita kalian berdua.” kata anak nomor tiga. “Suatu waktu saya menemukan seekor kerbau yang sangatlah besar, saking besarnya, sehingga ujung tanduknya saja bisa dijadikan lapangan untuk bermain sepak bola.”

“Tapi saya menemukan rotan yang lebih besar daripada pohon, pahat dan kerbau kalian.” Kata anak nomor empat. “Rotan itu sangatlah panjang luarbiasa, sehingga dapat melingkari bumi ini.” Menyahutlah anak yang nomor lima, “Itu semua belum seberapa, sebab saya pernah menemukan sebuah masjid, bahkan saya pun sempat sholat Jum’at di dalamnya. Masjid itu sangatlah besar, sehingga dari tempat saya sholat tidak dapat melihat imam yang ada di muka. Dan, andaikata bisa terlihat, besarnya pun hanyalah seukuran kuman saja.”

“Sekarang giliran adik kita yang paling bungsu, untuk bercerita lebih besar dari apa yang kami bisa ceritakan.” kata anak tertua. Anak bungsu pun mulai bercerita dengan suara perlahan, “Pada suatu hari, saya menemukan sebuah Bedug yang hanya sekali dipukul suara dengung-nya akan terdengar terus-menerus. Bahkan, suara nya itu masih dapat didengar sampai sekarang. Cobalah tutup kedua telinga kalian, pasti masih terdengar suara bedug tersebut.”

Serentak ke lima saudaranya menutup telinganya masing-masing, dan terdengarlah suara dengung di telinga mereka, padahal sebenarnya suara itu hanyalah suara angin saja. Takjub denga apa yang disampaikan oleh anak bungsu, anak tertua pun bertanya, “Luarbiasa, tapi dari mana memperoleh kayu untuk membuat rangka bedug yang dapat berdengung begitu lama.”

“Tentunya dari pohon besar yang engkau temukan di dalam hutan.” jawab anak bungsu. Anak nomor dua pun juga bertanya, “Bila begitu, alat apakah yang digunakan untuk membuat rangka bedug itu?” 
“Tentunya alatnya adalah pahat besar yang kau temukan di tengah jalan.” Jawab anak bungsu.

“Lalu, di mana memperoleh kulit untuk membuat bedug tersebut!?” teriak anak nomor tiga. 

“Kulitnya diperoleh dari kulit kerbau raksasa yang engkau temukan.” Jawab si bungsu. “Untuk menggantung bedug itu bagaimana caranya, dari mana bahan untuk membuat pengikat dan gantungan bedug tersebut.” Tanya anak nomor empat.

“Rotan panjang yang kau temukan itulah yang menjadi pengikat dan menggantungkan bedug tersebut.” Jawab anak bungsu. “Wow!! Bedug itu sungguh luarbiasa sekali besarnya, aku jadi bertanya-tanya di simpan di mana bedug sebesar itu?” Tanya anak nomor lima. Anak bungsu pun menajwab dengan perlahan,” Bukankah ada masjid yang sangat besar, tempat di mana kau pernah sholat di dalamnya. Di situlah bedug itu di simpan, bila kau memperhatikan dengan teliti setiap sudut masjid tersebut, maka pastilah kau akan menemukan bedug tersebut.”

Mendengar cerita anak bungsu itu, kelima kakaknya pun mengangguk-angguk terkagum dibuatnya. Akhirnya, anak tertua pun berkata mewakili keempat saudaranya yang lain, “Engkaulah dik yang menjadi pemenangnya, mulai saat ini engkau berhak memiliki seluruh sawah berjumlah lima petak warisan dari ayah!”
Asal Cerita : Sulawesi Selatan



Buen Manik
Ada seorang anak perempuan bernama Buen Manik. Ia seorang anak yatim,ayahnya sudah meninggal. Ia tinggal bersama Ibunya dan seorang adik kecil perempuannya yang bernama Kalisu. Setiap hari pekerjaan ibunya adalah menenun.
Pada suatu hari ketika ibunya sedang menenun ia menyuruh Buen Manik memasak. Sesudah ia memasak nasi, ia bertanya kepada ibunya " Lauk apa yang akan ku masak ? " Kata Ibunya " Ada Sayur Kalisu di situ ambillah dan masaklah. Lalu Buen Manik mengambil adiknya kalisu lalu dipotong dan di masak. Tidak lama kemudian Buen Manik memanggil ibunya dan berkata " Mari Ibu kita makan " Lalu Ibunya meninggalkan pekerjaannya dan datang makan karena ia sudah sangat lapar. Sementara makan, Ibunya menemukan jari anaknya, Kalisu. Ibunya bertanya " Apakah engkau sudah memasak jari adikmu ? " Jawab Buen Manik " Betul, bukankah biu yang menyuruh aku memasak Kalisu ? " Maka maralah Ibunya mendengar hal ini, lalu diambilnya alat tenunnya memukul kepala Buen Manik. Buen Mani segera melarikan diri. Ibunya mengikutinya dari belakang.
Tidak Lama Buen Manik sampai ke sebuah Batu yang tegak dan Buen Manik bersenandung katanya  "Batu yang berlobang, batu yang berlobang, bukalah dirimu  agar aku masuk kedalamnya Ibuku mengejarku Orangtua ku memarahiku dengan sangat " Tidak berapa lama terbukalah batu itu dan Buen Manik meloncat kedalamnya. Ketika Buen Manik telah ada didalamnya, batu itu tertutup kembali. Ketika tiba di tempat itu, menangislah sang ibu di pinggir batu itu. Kemudian ia mendengar suara yang berpesan agar dia datang tiga hari lagi. Setelah tiga hari ia kembali ke tempat itu ia bersenandung "Batu yang berlobang, batu yang berlombang bukalah dirimu agar aku dapat bertemu dengan anak kekasihku, darah dagingku.  
Lalu batu itu terbuka, tetapi yang keluar dari dalam bukanlah Buen Manik melainkan Burung Tekukur yang keluar bertebaran dan terbang jauh
                                                                                                                              Asal Cerita : Toraja


Bulalo lo Limutu

Kamu tentu pernah makan jeruk. Ada yang masam, ada juga yang manis. Pernahkah kamu mendengar kisah tentang sebuah danau yang konon terbentuk karena jeruk yang berasal dari kahyangan. Ayo kita baca kisahnya berikut ini…
Pada zaman dahulu, ada mata air bernama Tupalo di Limboto. Konon, mata air ini biasa didatangi oleh gadis kahyangan untuk mandi atau sekedar bermain air. Suatu ketika turunlah jejaka tampan dan perkasa dari kahyangan, namanya Jilumoto yang berarti (seseorang) yang menjelma datang ke dunia. Suatu kala, dia berhasil menyembunyikan sayap milik Mbu’i Bungale, bidadari tertua yang sedang mandi di Tupalo. Singkat cerita, mereka bertemu, saling jatuh cinta dan menjadi suami-istri. Mereka memutuskan menjadi penghuni dunia dan membangun rumah serta berkebun di bukit yang diberi nama Huntu lo Ti’opo alias bukit kapas.
            
Suatu ketika, Mbu’i Bungale mendapat kiriman mustika sebesar telur itik yang disebut Bimelua. Dia menyimpannya di Tupalo, tempat ia biasa mandi dan menutupnya dengan sebuah Tulo (tudung). Pada suatu hari, ada empat pengembara yang sampai di Tupalo. Melihat airnya yang jernih, serta-merta mereka mandi di Tupalo itu. Selesai mandi, mereka melihat tudung terapung diatas air. Mereka lalu mendekat dan bermaksud membuka tudung tersebut. Namun dalam sekejap, terjadi badai dan angin topan yang dahsyat disertai hujan deras. Para pengembara pun segera berlindung ditempat yang aman. Setelah badai dan hujan telah berhenti, mereka kembali ke mata air.
            
Tak lama kemudian, datanglah Mbu’i Bungale dan suaminya untuk mengambil Bimelula. Ketika Mbu’i Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pengembara yang tak dikenalnya. Mereka bertengkar soal siapa pemilik Bimelula dan penguasa Tupalo. Klarena marah, Mbu’i Bungale berkata, “Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau!”. Mereka menerima tantangan tersebut, namun setelah keempat orang itu mencoba, hasilnya nihil. Kondisi mata air seperti sedia kala. Dengan napas tersengal, pemimpin mereka berkata, “perlihatkan kepada kami jika Engkau benar-benar sebagai pemilik mata air ini”. Mbu’i Bungale mengiyakan, dia lalu bersedekap sambil merapatkan kedua tangannya kemudian berteriak agar mata air melebar dan meninggi. Seolah disuruh tuannya, Tupalo pun melebar dan meluas. Mbu’i Bungale dan suami dalam sekejap telah berada diatas pohon. Sementara keempat orang itu kagum sekaligus ketakutan karena air kian meninggi. Mereka lalu memohon ampun sekaligus minta diselamatkan. Mbu’i Bungale turun dari pohon, mengambil tudung dan mustika sembari menyelamatkan keempat pengembara.
Beberapa saat kemudian, Bimelula menetas dan keluarlah gadis kecil yang cantik. Gadis itu dinamai Tolango Hula yang berasal dari kata Tilango lo Hulalo (cahaya bulan). Kelak, dia dinobatkan menjadi raja Limboto. Ketika bersia kembali kerumah, Mbu’I Bungale melihat lima buah jeruk terapung di danau. Dia mengambilnya dan merasakan aroma yang sangat harum. “Ini layaknya buah jeruk (limau atau lemon) di negeri kahyangan,” ujarnya kepada sang suami. Sambil memegang buah tersebut, mereka menamai danau itu, Bulalo lo limu o tutu yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari kahyangan. Lini danau tersebut dikenal dengan nama Bulalo lo Limutu.
Asal Cerita : Gorontalo


Legenda Lahilote
Dahulu kala ada seorang laki-laki bernama Lahilote yang tinggal di hulu sungai dekat mata air. Pekerjaannya sehari-harinya adalah mencari rotan di hutan. Pada suatu hari tanpa disangka-sangka ia melihat tujuh bidadari yang sedang mandi di sungai. Canda tawa terdengar dari kejauhan. Ketika mereka sedang mandi, Lahilote mencuri sebuah selendang salah satu bidadari dan menyembunyikannya di suatu tempat. Setelah beberapa lama para bidadari ini baru sadar, rupanya ada orang yang sejak tadi mengintip mereka mandi. Kehadiran Lahilote secara tiba-tiba sungguh mengagetkan para bidadari tersebut. Mereka cepat-cepat keluar dari sungai dan segera terbang ke langit menuju kayangan, kecuali satu orang bidadari yang kehilangan selendangnya sedih dan bingung sepeninggal teman-teman bidadarinya. Singkat cerita, bidadari yang tertinggal itu berhasil dibujuk dan dinikahi Lahilote.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Hingga pada suatu hari seperti biasa, Lahiloter mencari rotan ke hutan. Ketika sedang membersihkan rumah, tanpa sengaja isteri Lahilote menemukan selendangnya yang hilang dalam sebuah tabung bambu. Ia senang sekali karena selendangnya telah ditemukan. Saat itu juga ia terbang ke tempat asalnya, yaitu kayangan.

Pada hari itu Lahilote merasa sangat beruntung karena rotan yang didapatnya lebih banyak dari biasanya. Ia berjalan pulang dengan gembira. Tapi ketika ia pulang kegembiraannya lenyap. Tabung bambu sudah kosong dan isterinya telah kembali kekayangan. Ia benar-benar gundang. Tiba-tiba seorang Polah yaitu suatu suku yang tinggal di tengah hutan hadir di hadapannya. Ia memegang rotan sebuah rotan hutiya mala. Sang Polahi berkata. "Rotan ini memandumu kekayangan. "Temukan isterimu di sana!"

Singkat cerita, Lahilote terbang ke kayangan dan bertemu dengan isterinya. Lahilote dan isterinya bersatu kembali dikayangan. Hingga pada suatu wakut, Lahilote bersama isterinya sedang asyik duduk berdua. Lahilote duduk di atas sebatang kayu. Sementara itu, istrinya sibuk mencari kutu di kepala Lahilote. Ia terkejut melihat uban yang ada dikepala suaminya. Ia teringat peraturan  bahwa seorang yang beruban tidak abadi dan tidak boleh ada di kayangan. Lahilote menanyakan apa alasannya. Istrinya menjawab:

"Apalah arti sebuah cinta kalau Tuan sudah beruban, apalah artinya sebuah kayangan kalau tuan tinggal bayangan. Lahilote tidak menyangka akibatnya sungguh berat. Ia benar benar sedih dan terpukul dibuatnya. lalu ia turun ke bumi menggunakan sebilah papan.

Sesampainya di bumi Lahilote bersumpah, "Sampai senja umurku nanti, berbatas pantai Pohe berujung kain kafan, di sana telapak kakiku akan terpatri sepanjang jaman." selesai berkata demikia dengan seluruh kesedihan dan jiwa yang merana Lahilote menginjakan kakinya sekuat tenaga hingga berdarah pada sebuah batu.

Batu berbentuk telapak kaki itu dapat ditemukan di pantai Pohe Gorontalo. Menurut kepercayaan setempat, batu itu adalah telapak kaki Lahilote yang bersedih karena terbuang kekayangan.
Asal Cerita : Gorontalo


Legenda Kusunagi
Menurut kojiki, dewa Jepang Susa-no-o sedang menolong sebuah keluarga yang berdukacita dari Kunitsukami (dewa-dewa bumi) yang dikepalai Ashinazuchi di provinsi Izumo. Ashinazuchi bercerita pada Susa-no-o bahwa keluarganya sedang diancam oleh monster ular berkepala 8 (Yamata no Orochi). Monster tersebut telah memakan 7 dari 8 anak perempuan keluarga tersebut. Putri yang tersisa adalah Putri Kushinada. Susa-no-o, yang merupakan adik laki-laki dewi Amaterasu (lihat gambar atas), menyelidiki hal tersebut dan kembali dengan sebuah rencana untuk mengalahkan Yamata no Orochi. Sekembalinya dari perjalanan, ia menikahi putri Kushinada. Dalam melakukan rencananya membunuh Yamata no Orochi, ia menyiapkan 8 tong sake yang diletakkan di belakang pagar dengan 8 gerbang. Yamata no Orochi kemudian tertarik pada umpan tersebut dan kepalanya masuk ke masing-masing gerbang. Dalam kesempatan ini Susa-no-o menyerang dan membunuh monster tersebut dengan pedang Worochi no Aara-massa. Dia membelah tiap kepala sampai ekornya dan pada ekor yang keempat, dia menemukan pedang di dalamnya. Lalu ia menamakan pedang tersebut Ama no Murakumo no Tsurugi yang kemudian dipersembahkan kepada Amaterasu untuk kedukaannya yang lalu tentang masalah Yamata no Orochi.

Generasi selanjutnya, di bawah kekuasaan kekaisaran ke-12, Keikō, Ama no Murakumo no Tsurugi diberikan kepada seorang pejuang hebat, Yamato Takeru sebagai salah satu dari sepasang hadiah dari bibinya, Yamato-hime, wanita kuil dari Kuil Ise, untuk melindungi keponakannya dari bahaya.

Hadiah tersebut berguna saat Yamato Takeru dijebak dalam padang rumput saat berburu oleh dewa perang yang jahat. Dewa tersebut memiliki panah berapi untuk membakar rumputnya dan menjebak Yamato di dalam padang rumput agar ia mati terbakar. Dewa tersebut juga membunuh kuda pejuang itu untuk mencegah pelariannya. Akhirnya, Yamato Takeru menggunakan Ama no Murakumo no Tsurugi untuk memotong rumputnya. Saat melakuan hal ini, ia mengetahui bahwa pedang tersebut membuatnya bisa mengotrol angin mengikuti arah tebasannya.

Memanfaatkan keuntungan sihir ini, Yamato Takeru memakai hadiahnya yang lain, penembak api, untuk memperbesar api pada daerah sang dewa dan anak buahnya berada, dan ia memakai angin yang dikontrol olehpedang untuk menyapu kobaran api di dekat mereka sehingga apinya membesar. Dalam kemenangannya, Yamato Takeru menamai pedangnnya Kusangi no Tsurugi(Pedang Penebas Rumput) untuk mengingat-ingat kesulitan pelariannya dan kemenangannya. Akhirnya Yamato Takeru menikah dan mati dalam pertempuran dengan monster, setelah tidak menghiraukan nasehat istrinya untuk membawa pedang Kusanagi no Tsurugi bersamanya.
Asal Cerita : Jepang



LUTUNG KASARUNG
Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung. Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari. Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.



MENTIKO BETUAH

Pada zaman dahulu di Negeri Semeulue tersebutlah seorang raja yang kaya raya, arif, dan bijaksana. Sayangnya, ia tidak memiliki seorang putra mahkota. Maka pergilah sang raja bersama permaisuri ke hulu sungai untuk berlimau. (mandi dengan menyiram tubuh dan kepala) dan bernazar (berjanji pada diri sendiri) agar dikaruniai seorang anak.

Setelah menunggu-nunggu lama, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki, dan diberi nama Rohib. Raja segera memukul beduk dan memberitahukan kepada rakyat tentang kelahiran anaknya dengan gembira.Raja dan permaisuri sangat sayang terhadap anaknya sehingga tidak terasa mereka menjadi orangtua yang sangat memanjakan anaknya.
            
Ketika sudah besar anak itu, dikirimlah dia ke kota untuk menuntut ilmu. Ia mendapat pesan dari ayahnya agar tekun belajar. Sayangnya setelah lama belajar, ia tak juga menyelesaikan sekolahnya. Ayahnya menjadi sangat marah.Tetapi permaisuri tak sampai hati untuk menghukum anak itu. Ia berlutut di hadapan raja untuk mengampuni sang putra mahkota. “Biarkan dia pergi berdagang,” kata permaisuri. Maka diusirnya anak itu dan diberi modal untuk berdagang. Ketika si Rohib hendak pergi berdagang, di tengah jalan bertemulah dia dengan anak-anak yang sedang berburu burung dengan ketapel. Rohib menegur mereka karena perbuatan itu tidaklah baik.Tetapi anak- anak kampung itu menjadi marah. Lalu Rohib menawarkan sebagian uangnya agar mereka berhenti menembaki burung. Tawaran itu tentu saja diterima dengan senang hati.

Di tempat lain, Rohib bertemu pula dengan orang-orang kampung yang sedang memukuli ular. Rohib tidak tega melihatnya dan menawarkan sebagian uangnya lagi agar mereka berhenti memukuli ular. Kembali tawaran itu diterima dengan senang hati. Begitulah yang dilakukan Rohib setiap kali melihat ada orang menganiaya binatang sepanjang perjalanannya. Sehingga tanpa disadarinya modal untuk berdagang itu kian menipis dan nyaris habis. Untuk pulang ia tak berani. Maka berhentilah ia di tengah hutan karena kelelahan dan bingung. Ia menangis sedih meratapi nasibnya.

Tiba-tiba datanglah seekor ular besar mendekatinya. Rohib sangat ketakutan. Dikiranya ia akan dimakan ular itu. Tetapi ular itu berkata, “Jangan takut anakku. Aku tak akan memangsamu.”

            “Hai ular besar, siapakamu? Kenapa bisa berbicara seperti manusia?”

            “Sesungguh nya aku hendak memberi kamu hadiah karena kamu telah melindungi binatang yang ada di hutan ini dari aniaya manusia.”Lalu ular itu mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

            “Benda apakah itu?” Rohib penasaran.

            “Inilah yang disebut Mentiko Betuah. Apapun yang kau minta akan dikabulkan.”

Maka dengan berbekal mentiko betuah itu pulanglah Rohib. Sebelum sampai ke istana ia minta uang yang berlimpahsebagai ganti modal dagangnya yang telah dibagi-bagikan pada orang dengan berlipat ganda. Permohonan itu terkabul. Berkat uang banyak itu Rohib diterima kembali oleh ayahnya. Setelah itu Rohib berpikir bagaimana menyimpan mentiko betuah agar tidak hilang.Lalu ia ingin menempanya menjadi cincin. Pergilah ia ketukag emas. Tetapi situkang emas menipunya dan lari. Rohib meminta pertolongan pada anjing, kucing, dan tikus untuk menemukan kemana larinya si tukang emas dan merebut kembali mentikobetuah miliknya. Anjing dengan indra penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran kucing dan tikus untuk mencari bagaimanacara mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas. Pada tengah malam, tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung tukang emas yang sedang tertidur. Tak berapa lama, tukang emas itu bersin, sehingga mentiko betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, tikus segera mengambil benda itu.

Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya. Maka kedua temannya segera mencari benda itu ke dasar sungai. Sementara itu tikus segera menghadap kepada Rohib untuk mengembalikan mentiko betuah. Dengan demikian, tikuslah yang dianggap sebagai pahlawan. Mengetahui hal ini, kucing dan anjing sangat marah karena tikus telah melakukan kelicikan. Sejak saat itu, konon kucing dan anjing sangat membenci tikus dimanapun berada.
Asal Cerita : Aceh



PADI SEBESAR KELAPA

Dahulu kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi sebesar buah kelapa. Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya. Padi itu ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang ditemukan itu bukanlah padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji padi sebesar kelapa lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya bahwa padi itu merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan berkah dengan turunnya padi itu ke tempat mereka.

Saat musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa tersebut ke sawah yang akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi oleh lagu yang bersyair doa dan pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan dengan Nandung. Kulit padi mereka pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian Dewi Sri.

Waktu terus berjalan. Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali berkumpul dan bersama-sama melakukan panen. Panen pertama ini mereka lakukan hanya untuk sebagian kecil padi yang akan digunakan untuk acara makan bersama. Saat akan menuai padi, mereka menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan puji-pujian kepada Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah dituai kemudian diirik dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi beras, padi itu dimasak dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam acara itu padi sebesar kelapa itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka melagukan syair-syair yang intinya adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan keselamatan kepada Tuhan. Acara makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat secara bersama-sama memanen seluruh padi.

Setelah seluruh padi selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang tinggal. ini lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan Salibu. Padi itu ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu kemudian di panen. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu dilakukan oleh muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama proses itu tidak jarang ada muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari Salibu kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu.
Asal Cerita : Palembang



Pengembara Dan Sekantong Uang

Dua orang pengembara berjalan bersama di suatu jalan, dan salah satu pengembara tersebut menemukan sebuah kantung yang penuh berisikan uang.

“Betapa beruntungnya saya!” katanya, “Saya telah menemukan sebuah kantung berisi uang. Menimbang dari beratnya, saya rasa kantung ini pasti penuh dengan uang emas.”

“Jangan bilang ‘SAYA telah menemukan sekantung uang’,” kata temannya. “Lebih baik kamu mengatakan ‘KITA telah menemukan sekantung uang’. Pengembara selalu berbagi rasa dengan pengembara lainnya, baik itu dalam susah maupun senang.”

“Tidak, tidak,” kata pengembara yang menemukan uang, dengan marah. “SAYA menemukannya dan SAYA akan menyimpannya sendiri.”

Saat itu mereka mendengarkan teriakan teriakan di belakang mereka “Berhenti, pencuri!” dan ketika mereka melihat ke belakang, mereka melihat sekumpulan orang yang terlihat marah dan membawa pentungan kayu dan tongkat, berlari ke arah mereka.
Pengembara yang menemukan uang tadi langsung menjadi ketakutan.

“Celakalah kita jika mereka melihat kantung uang ini ada pada kita,” katanya dengan ketakutan.

“Tidak, tidak,” jawab pengembara yang satu, “kamu tidak mengatakan ‘KITA’ sewaktu menemukan sekantung uang, sekarang tetaplah menggunakan kata ‘SAYA’, kamu seharusnya berkata ‘celakalah SAYA'”.

Dan sekumpulan orang yang marah itu pun segera menangkap si pengembara yang menemukan uang. 
Asal Cerita : Yunani




PULAU SENUA

Pada zaman dahulu, di pulau natuna hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Hidup mereka dari hari kehari tak pernah membaik. Semua pekerjaan yang mereka upayakan tak pernah bisa cukup untuk sekedar memperbaiki nasib. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja lebih sering tak cukup. Hingga suatu hari, sang suami yang bernama baitusen mendengar cerita tentang pulau buguran yang kaya akan hasil lautnya. Maka, tak menunda waktu lama-lama berangkatlah baitusen dan mail amah, istri yang dicintainya ke pulau tersebut. Sesampai dipulau bunguran, baitusen bekerja sebagai nelayan pengumpul siput dan kerang seperti pekerjaan penduduk lainnya. Sedangkan istrinya, mai lamah membantu membuka kulit kerang untuk dijual sebagai bahan perhiasan.

Lama berselang setelah mereka tinggal di pulau bunguran kehidupan baitusen dan istrinya sudah mulai membaik, mereka hidup berbahgia. Tak hanya itu, penduduk pulau bunguran sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan suka menolong tanpa pamrih apapun. Itu juga yang membuat baitusen kerasan tinggal di sana. Kebahagiaan baitusen dan mai lamah makin bertambah ketika mai lamah mengandung baitusen yang begitu tau perihal kehamilan istrinya semakin giat bekerja hasil tangkapannya sekarang bukan hanya kerang. Baitusen mulai mencari teripang dan hasil laut lainnya, harga teripang kering di daratan cina sangat mahal. Dengan sekuat tenaga, baitusen mengupayakan apa saja demi kesejahteraan keluargannya, dia tidak ingin anaknya hidup susah seperti yang pernah dialami sebelumnya. Kegigihan baitusen bekerja membuahkan hasil namanya semakin terkenal diantara pedagang cina pembeli teripang kering, tak perlu menunggu lama sejak menjadi nelayan penagkap teripang baitusen menjadi orang terkaya dan terpandang dikampungnya.

Agaknya kekayaan dan hidup mewah telah membuat mata hati mai lamah. Mai lamah telah menjadi nyonya kaya yang tinggi hati lengkap dengan dandana yang seakan-akan menunjukan kesombongannya. Mai lamah lupa daratan, silaunya harta telah merubah acap dia berkata kasar dan menyakiti hati tetangganya di tambah lagi sifat kikir dan tak peduli pada kesusahan tetangga. Teguran demi teguran dari suaminya tak pernah dihiraukan, para tetangga mulai manjauh dari keluarga baitusen perlahan-lahan. Mereka mulai enggan untuk menyapa mai lamah, tetapi mai lamah justru merasa beruntung. “Baguslah lagi macam ini tak banyak yang menyusahkan hidup kita bang,” begitu ucapan mai lamah Pada suaminya pada suatu hari. Baitusen coba menasehati tapi, yang didapat baitusen hanya kemarahan dari mai lamah. Mai lamah tidak bisa lagi masuk nasehat. Hari berlalu begitu cepat hingga tak berasa tibalah waktunya bagi mai lamah untuk melahirkan. Baitusen yang panic mendengar erangan sakit dari istrinya, mencari pertolongan pada dukun beranak kampung yang biasa menolong orang-orang. Akan tetapi, karena rasa sakit hati akan ucapan mai lamah yang pernah menghin dirinya,membuat dukun beranak tadi tak sudi menolong mai lamah hatinya terlanjur luka oleh perkataan istri baitusen.

“Baik kita kedukun beranak di seberang sana saja,dik” baitusen mencoba membujuk istrinya, “abang dengar dekat sana  ada yang bisa membantu. Baik kita bergegas.” Mai lamah yang tak punya pilihan lain akhirnya setuju,”tapi jangan lupa bang bawa juga semua emas kita, bang.” Baitusen terpaksa menurut dan kembali lagi untuk mengambil emas dan memasukannya ke perahuyang akan membawah mereka keseberang. Baitusen mendayung perahu dengan sekuat tenaga agar tiba di pulau seberang lebih cepat. Namun, sekuat apa pun baitusen mengayuh perahunya tetap saja tidak bisa bergerak lebih cepat. Gelombang pasang memperlambat laju perahu, di tambah lagi peti- peti emas yang memberati kapal. Semakin ke tengah, perahu semakin berguncang diamuk arus gelombang. Setengah mati baitusen mandayung hingga habis seluruh tenaganya, air semakin banyak masuk kedalam perahu. Mai lamah menjerit ketakutan di ujung sana, ombak besar menunggu untuk melahap perahu mereka, dengan sekali sapuan perahu terombang ambing hingga kemudian terbalik dan tenggelam. Tubuh baitusen dan mai lamah hanyut terbawah gelombang air laut dan terdampar di pantai pulau bunguran timur.

Hujan deras dan angin kencangberapadu dengan kilat tak berhenti, petir dan tiupan angin seolah saling bersahutan menyambut kedatangan sepasang suami istri yang terkapar di bibir pantai. Mai lamah yang berbadan dua tersambar petir berkali-kali hingga mengubah tubuhnya menjadi batu.Semakin lama, batu jelmaan mai lamah semakin membesar dan menjadi sebuah pulau yang di namakan pualu senua. Sedangkan perhiasan emas yang dikenakan mai lamah berubah menjadi pulau bunguran.
Asal Cerita : Kepulauan Riau 




PUTRI JUNJUNG BUIH

Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya. Tapi siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya diselimuti kisah legenda.
      
Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera. Plaza itu lenyap seiring pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan tetap  ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.
       
Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai istri Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah putri raja pertama di Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja Makedonia).
       
Kisah tentang seorang bayi yang ditemukan oleh raja dan diasuh hingga dewasa kemudian menjadi penerus tahta kerajaan. Cerita rakyat dari Kalimantas Selatan ini merupakan salah satu dari cerita rakyat Indonesia yang cukup terkenal.
       
Cerita rakyat putri cantik junjung buihKerajaan Amuntai dipimpin oleh dua bersaudara, yakni Padmaraga yang disebut Raja Tua dan Sukmaraga yang biasa disebut Raja Muda. Keduanya tidak berputra. Oleh karena itu, mereka terus berdo’a agar segera dikaruniai keturunan. Raja Muda berdo’a di sebuah tempat dekat Kota Banjarmasin. Begitu kuanya dia memohon sehingga tak lama kemudian, istrinya hamil dan dianugerahi sepasang anak kembar yang rupawan.
       
Demikian pula Raja Tua berdo’a di Candi Agung, di luar Kota Amuntai. Setelah sekian lama berdo’a dia pulang ke Amuntai. Dalam perjalanan pulang, dia melewati sebuah sungai. Tampak olehnya seorang bayi perempuan yang sangat cantik terapung-apung di atas sungai, tepat di atas buih. Padmaraga menghentikan perjalananya. Kemudian Raja Tua memerintahkan pada Datuk Pujung tetua istana untuk mengambil bayi di atas buih tersebut. Raja Tua ingin menyelamatkan bayi itu dan menjadikannya sebagai anak asuhnya.
       
Datuk Pujung segera mendekat ke tempat buih yang di atasnya terbaring bayi perempuan itu. Datuk Pujung berusaha mengambil bayi itu, tetapi buih bergerak terus mengombang-ambingkan si bayi. Rupanya bayi itu sangat susah di dekati. Kemudian dengan tiba-tiba bayi itu berbicara kepada Datuk Pujung. Bayi tersebut bersedia ikut dengan Raja Tua asalkan permintaannya dipenuhi. Semua orang yang mendengar terheran-heran. Bagaimana mungkin ada seorang bayi yang bisa bicara.
        
Datuk Pujung terperanjat. Ketika bayi itu berkata bahwa dirinya akan ikut ke istana dengan Raja Tua asalkan diberi selembar kain dan selimut yang selesai ditenun dalam waktu setengah hari. Selain itu, bayi tersebut juga ingin dijemput oleh empat puluh wanita cantik. Permintaan bayi itu disampaikan kepada Raja Tua. Raja Tua segera memerintahkan untuk mencari empat puluh wanita cantik dan mengumumkan sayembara untuk menenun kain dan selimut dalam waktu setengah hari.
       
Banyak yang mengikuti sayembara, tetapi belum ada yang dapat menyelesaikan tenunan dalam waktu setengah hari. Sampai kemudiam, datanglah seorang perempuan bernama Ratu Kuripan. Ratu Kuripan dapat menyelesaikan tugasnya menenun selembar kain dan selimut dalam waktu setengah hari. Hasilnya pun sangat mengagumkan.
       
Bayi di atas buih itu pun dapat diambil dan diangkat anak oleh Raja Tua. Bayi itu kemudian dinamai Putri Junjung Buih. Sementara itu, Ratu Kuripan diangkat menjadi pengasuh Putri Junjung Buih. Ratu Kuripan mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya dan membimbing Putri Junjung Buih hingga dewasa. Karena kecerdasannya, Putri Junjung Buih tumbuh menjadi putri yang sangat cantik serta dikaruniai kepandaian yang luar biasa. Raja Tua sangat menyayanginya. Kelak di kemudian hari, Putri Junjung Buih menjadi anutan takyat Amuntai dan menikah dengan pangeran dari kerajaan Majapahit. Akhirnya mereka menurunkan raja-raja yang berkuasa di wilayah Kalimantan.
Asal Cerita : Banjarmasin




SANGKURIANG

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya. 

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Asal Cerita : Jawa Barat



Telaga Pasir

Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.

Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.

Kyai Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai dia bawa pulang.

Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.

Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.

Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.

Karena derita yang disandang ini akhirnya Nyai Pasir lari ke ladang bermaksud menemui suaminya untuk minta pertolongan. Tetapi apa yang dijuumpai. Bukannya Kyai Pasir, melainkan seekor ular naga yang besar sekali dan menakutkan. Melihat ular naga yang besar itu Nyai Pasir terkejut dan takut bukan kepalang. Tetapi karena sakit yang disandangnya semakin parah, Nyai Pasir tidak mampu lagi bertahan dan rebahlah ke tanah. Nyai Pasir mangalami nasib gaib yang sama seperti yang dialami suaminya. Demikian ia rebah ke tanah, badannya berubah wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut, berjampang, giginya panjang dan runcing sangat mengerikan. Kedua naga itu akhirnya berguling-guling kesana kemari, bergeliat-geliat di tanah ladang itu, menyebabkan tanah tempat kedua naga berguling-guling itu menjadi berserakan dan bercekung-cekung seperti dikeduk-keduk. Cekungan itu makin lama makin luas dan dalam, sementara kedua naga besar itu juga semakin dahsyat pula berguling-guling dan tiba-tiba dari dalam cekungan tanah yang dalam serta luas itu menyembur air yang besar memancar kemana-mana. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar yang disebut Telaga. Telaga ini oleh masyarakat setempat terdahulu dinamakan Telaga Pasir, karena telaga ini terwujud disebabakan oleh ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir.
Asal Cerita : Jawa Timur




TIMUN MAS

Pada zaman dahulu,hiduplah sepasang suami istri petani.Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan .Mereka  hidup bahagia. Sayangnya mereka belum di karuniai   seorang anak pun.

Setiap hari, mereka berdoa kepada yang maha kuasa  .Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak.Suatu hari seorang raksasa melewati tempat mereka.Raksasa itu mendengar doa suami isri itu .Raksasa itu kemudian memberi  mereka  biji mentimun.

 “Tanaman biji ini.Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata  raksasa. “Terima kasih,raksasa,” kata suami istri itu .”Tapi ada syaratnya.Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak.Karna itu tanpa berpikir panjang mereke langsung setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu.Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin.Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat.Ketika buah itu masak,mereka memetiknya.Dengan hati-hati mereka memotong buah itu.Betapa terkejutnya mereka,di dalam buah itu menemukan bayi perempuan yang sangat cantik.Suami istri itu sangat bahagia.Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu.Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.Kedua orang tuanya sangat bangga padanya.Tapi mereka menjadi sangat takut.Karna pada ulang tahun Timun Mas yang ke 17 tahun,sang raksasa datang kembali.Raksasa  itu menagih janji untuk mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggu sebentar.Timun Mas sedang bermain.isriku akan memanggilnya,” katanya.Petani itu segera menemui anaknya. “Anakku,ambillah ini,” katan ya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan raksasa.Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya.Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas ke pergian Timun Mas.Tapi mereka tidak relah kalau anaknya menjadi santapan Raksasa.Raksasa menunggu cukup lama.Ia menjadi tak sabar .Ia tahu,telah membohongi suami istri itu.Lalu ia akan mengejar Timun  Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas.Raksasa semakin dekat.Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantong kainnya.Lalu garam itu di taburkan kearah raksasa.Tiba-tiba sebuah laut yang luaspun terhampar.Raksasa terpaksa berenang dengan susah  payah.

Timun Mas berlari lagi.Tapi kemudian raksasa hampir berhasil menyusulnya.Timun Mas kembali mengambil bendah ajaib dari kantungnya.Ia mengambil segenggam cabai.Cabai itu di lemparnya ke arah raksasa .Seketika pohon dengan rantik dan duri yang tajam memerangkap raksasa.Raksasa berteriak kesakitan.Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.

Tapi raksasa sungguh kuat.Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas.Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga.Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib.Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas.Raksasa sangat letih dan kelaparan .Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap.Karena terlalu banyak makan ,Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri.Ia melarikan diri sekuat tenaga .Tapi lama kelamaan tenaganya habis.Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun  dari tidurnya.Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya .Timun Mas sangat ketakutan.Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir ,segenggam terasi udang.Lagi-lagi terjadi keajaiban.Sebuah danau lumpur yang luas terhampar.Raksasa terjebak kedalamnya.Tangannya hampir menggapai Timun Mas.Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar . Raksasa panik.Ia tak bisa ber napas,lalu tenggelam.

Timun Mas lega.Ia selamat,Timun Mas pun kembali kerumah orang tuanya.Ayah dan Ibu  Timun Mas senang sekali meliahat putrinya Timun Mas selamat.Mereka menyambutnya.”Terimah kasih Tuhan. Kau telah menyelamatkan  anak ku,”kata mereka gembira .

Sejak itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya.Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.        
Asal Cerita : Jawa Tengah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar